*

*

Ads

Selasa, 20 Maret 2018

Asmara Berdarah Jilid 152

Dengan penasaran Siang Hwa lalu menyerang lagi sambil memutar pedangnya dengan amat cepat. Ia menerima pelajaran ilmu pedang dari Raja dan Ratu Iblis, tentu saja ilmu pedangnya amat ganas dan berbahaya. Pedangnya lenyap berobah menjadi gulungan sinar yang menyambar-nyambar ganas ke arah lawan.

Akan tetapi, keheranan hati Siang Hwa menjadi-jadi ketika lawannya itu mampu mengelak atau menangkis, menghindarkan semua serangannya dengan amat mudah dan seolah-olah semua gerakan serangannya itu telah diduga lebih dulu.

Ia terkejut bukan main ketika lawannya membalas dengan serangan ujung kebutan dan terpaksa Siang Hwa harus mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua kepandaiannya untuk mempertahankan diri karena serangan balasan lawannya itu benar-benar amat hebat.

Ujung kebutan itu menyambar-nyambar dan setiap helai bulu kebutan seperti hidup, kadang-kadang berobah kaku seperti kawat-kawat baja dan kadang-kadang lemas sekali dan dapat menyerang ke arah jalan darah.

Ci Kang tidak merasa heran melihat betapa gadis muda yang baru datang ini mampu menandingi Siang Hwa. Begitu membuka matanya memandang, dia segera mengenal gadis itu yang bukan lain adalah Toan Hui Cu, puteri Raja dan Ratu Iblis yang tinggal di dalam guha bawah tanah itu.

Munculnya gadis muda yang membelanya ini menimbulkan harapan baginya bahwa dia akan tertolong dari ancaman maut, walaupun hal ini tidak mendatangkan kegirangan besar dalam hatinya. Bagi Ci Kang pada saat itu, mati dan hidup tiada bedanya, bahkan dia tidak akan menyesal kalau tewas karena hal ini hanya akan membebaskan dirinya daripada kedukaan dan penyesalan.

Perkelahian itu berlangsung dengan serunya dan lima puluh jurus telah lewat. Kini tiada keraguan lagi dalam hati Siang Hwa bahwa lawannya telah mengenal semua gerakan silatnya, dan iapun mengenal gerakan yang serupa dengan ilmu silat yang diajarkan kepadanya oleh suhu dan subonya.

Malang baginya, gerakan kebutan itu asing baginya sehingga baberapa kali ia kebobolan dan hampir celaka ketika ujung kebutan menyambar. Untung ia amat gesit sehingga hanya keserempet saja dan belum terkena serangan yang telak.

Bagaimanapun juga, hal ini mengecutkan hatinya dan Siang Hwa mulai terdesak hebat oleh Hui Cu. Untung bagi Siang Hwa, sejak kecil Hui Cu hidup menyendiri di dalam guha di bawah tanah sehingga ia berwatak bersih, belum terseret ke dalam lembah kekejaman dan kejahatan oleh kehidupan orang tuanya. Oleh karena itu, walaupun ia telah mempelajari ilmu-ilmu silat dari ibunya, bahkan menguasai ilmu kebutan yang merupakan ilmu rahasia dan yang hanya dipelajari olehnya sendiri, namun tiada sedikitpun keinginan di hatinya untuk mencelakakan orang lain. Perasaan inilah yang membuat ia menentang mati-matian ketika ibunya pernah hendak membunuh Cia Sun dan Ci Kang dan kini ia menentang Siang Hwa yang hendak membunuh Ci Kang.

"Hyaaaattt...!"

Tiba-tiba Hui Cu mengeluarkan bentakan aneh seperti sering dilatihnya ketika ia berlatih silat di dalam guha bawah tanah dan ujung kebutannya membuat gulungan sinar yang membuat pandang mata Siang Hwa kabur.

Sebelum Siang Hwa dapat menghindarkan dirinya baik-baik, pundak kirinya telah disambar ujung kebutan dan ia berteriak kesakitan lalu meloncat ke belakang. Pundaknya terasa nyeri bukan main dan kalau saja ia tidak melindungi dirinya dengan tenaga sin-kang, tentu ia sudah roboh.

Dengan muka agak pucat Siang Hwa memandang gadis itu lalu telunjuknya menuding ke arah muka yang putih agak pucat itu.

"Kau... dari mana engkau mencuri ilmu perguruan kami...!"

Yang ditanya tersenyum dan wajahnya tidak lagi nampak menyeramkan karena kepucatan wajahnya setelah tersenyum karena wajah itu menjadi manis sekali.

"Aihh, agaknya engkaulah murid ibuku. Engkau lihai dengan pedangmu, sayang engkau jahat, mau membunuh orang! Ibu pernah bercerita tentang seorang muridnya bernama Gui Siang Hwa. Engkaukah itu?"

Siang Hwa menjadi semakin terkejut. Puteri subonya? Belum pernah ia mendengar subonya mempunyai seorang puteri. Memang, subonya pernah melahirkan seorang anak perempuan akan tetapi anak itu telah mati!

"Kau... kau... puteri subo...?"






Ia memandang terbelalak seperti melihat setan. Mungkinkah anak yang mati dapat hidup kembali?

Tiba-tiba Hui Cu teringat akan pesan ibunya agar tidak memperkenalkan diri kepada siapapun juga, maka iapun berkata dengan tak sabar lagi,

"Sudahlah, engkau cepat pergi dari sini dan jangan mengganggu orang lain. Pergilah!" Ia melangkah maju dan mengancam dengan kebutannya untuk mengusir Siang Hwa.

Pada saat itu ada angin menyambar kuat dan tiba-tiba muncullah seorang nenek berpakaian putih dengan rambut putih riap-riapan dan wajah pucat kehijauan. Ci Kang mengenal nenek ini sebagai Ratu Iblis dan diam-diam diapun merasa menyesal mengapa dia masih dalam keadaan tertotok. Kalau tidak, ingin dia melawan Ratu Iblis ini dengan muridnya yang jahat.

"Hui Cu, apa yang kau lakukan ini?" bentak nenek itu kepada puterinya dan ketika ia melihat Siang Hwa, wajah nenek itu berobah, alisnya berkerut dan sinar matanya mencorong. "Siang Hwa, apa yang kau kerjakan disini?"

Nenek ini sejenak bingung dan terkejut melihat betapa anaknya yang kehadirannya dirahasiakan itu ternyata telah bentrok dengan muridnya dan kalau sampai hal ini ketahuan oleh suaminya tentu akan terjadi geger. Suaminya tentu akan menuntut agar Hui Cu dibunuh mati atau diberikan kepadanya untuk menjadi selirnya!

"Subo, teecu berhasil merobohkan Siangkoan Ci Kang dan akan membunuhnya, akan tetapi lalu muncul... eh, adik ini yang menentang teecu," kata Siang Hwa membela diri karena ia tahu bahwa subonya sedang marah.

Nenek itu membalikkan tubuhnya memandang kepada tubuh Ci Kang, lalu kepada puterinya dengan sikap marah. Sebelum ia mengeluarkan kata-kata, Hui Cu sudah meloncat dan sekali berkelebat, tubuhnya sudah tiba dekat Ci Kang dan ia bersikap melindungi.

"Ibu, kenapa engkau dan juga muridmu itu berkeras hendak membunuh orang yang tidak bersalah?"

"Hui Cu, pergilah dan biarkan Siang Hwa membunuhnya!" bentak Ratu Iblis.

"Tidak! Siapapun tidak boleh membunuhnya! Aku akan menentang siapa saja yang hendak membunuhnya!" berkata Hui Cu dengan sikap gagah dan ia melintangkan kebutannya di depan dada. "Siang Hwa, kalau engkau berkeras hendak membunuhnya, aku yang akan lebih dulu merobohkanmu. Kalau engkau jahat, akupun terpaksa akan tega melukaimu!"

Tentu saja Siang Hwa tidak berani sembarang bergerak. Ia sudah tahu akan kelihaian gadis itu, apalagi setelah kini tahu bahwa gadis itu puteri subonya. Mana ia berani menyerang atau menentangnya?

"Kalau aku yang membunuhnya?" bentak pula nenek itu.

"Aku tetap akan melindunginya dan agaknya ibu harus membunuh aku lebih dulu sebelum dapat membunuhnya!"

Nenek itu nampak terkejut dan sepasang matanya yang mencorong itu terbelalak.
"Apa? Kau... kau cinta pemuda itu?"

"Aku tidak tahu apa maksudmu, ibu. Aku tidak tahu apa artinya cinta, akan tetapi aku suka kepadanya karena dia orang baik dan aku tidak suka melihat dia dibunuh, aku akan menentang setiap pembunuhan tanpa sebab."

Melihat kenekatan puterinya, nenek itu sejenak nampak bingung dan kehabisan akal. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Akan tetapi baginya, mati hidupnya seorang pemuda seperti Siangkoan Ci Kang tidaklah begitu penting. Yang merupakan urusan besar adalah pertemuan antara anaknya dengan Siang Hwa. Maka ia menoleh kepada Siang Hwa dan berkata dengan suara penuh mengandung ancaman,

"Siang Hwa, berjanjilah untuk menutup mulutmu dan tidak bicara kepada siapapun juga tentang Hui Cu, terutama kepada suhumu. Kalau hal ini sampai bocor, engkaulah satu-satunya orang yang tahu dan engkau akan kubunuh!"

Mendengar suara subonya dan melihat sikap yang mengancam itu, Siang Hwa menjadi pucat dan iapun mengangguk sambil berkata lirih,

"Baik subo... teecu berjanji tidak akan bicara dengan siapa juga mengenai... sumoi."

"Nah, Hui Cu, Siang Hwa, mari kita pergi!" kata pula nenek itu.

Hui Cu memandang kepada Ci Kang dan kemudian kepada ibunya dengan ragu-ragu.
"Ibu... dan... suci sungguh tidak akan membunuh dia?"

"Tidak, mari kita pergi," kata pula nenek itu mendesak.

"Pergilah dulu, ibu dan suci, nanti aku menyusul," kata pula Hui Cu yang masih belum percaya benar bahwa ibunya dan sucinya itu benar-benar akan membebaskan Ci Kang dan tidak mengganggunya.

"Mau apa kau?" ibunya membentak.

"Aku mau bercakap-cakap dulu sebentar dengan dia," jawab gadis itu menunjuk kepada Ci Kang.

Nenek itu mendengus marah akan tetapi segera meninggalkan tempat itu. Siang Hwa tersenyum mengejek.

"Sumoi yang manis, agaknya engkau tergila-gila kepada pemuda ini, ya? Memang dia tampan dan gagah, akan tetapi hati-hati, dia jahat dan curang tak dapat dipercaya. Jangan-jangan engkau akan celaka olehnya. Kalau engkau ingin agar dia dapat melayanimu sepuas hatimu, engkau berilah dia minum ini." Wanita itu mengeluarkan sebungkus bubukan merah dan memberikannya kepada Hui Cu.

Akan tetapi Hui Cu menolak, menggeleng kepala dengan alis berkerut.
"Aku tidak tahu apa yang kau maksudkan, akan tetapi dia tidak jahat dan curang seperti engkau. Pergilah cepat!" bentaknya marah.

Gui Siang Hwa hendak menjawab, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara melengking lirih dan ini adalah panggilan subonya, maka sambil tersenyum mengejek Siang Hwa mengangkat pundak dan pergi meninggalkan sumoinya.

Hui Cu berjongkok dan melihat betapa pemuda itu tak mampu bergerak karena totokan, ia lalu menepuk dan mengurut punggung dan kedua pundak Ci Kang. Akhirnya berhasillah dia membebaskan pemuda itu dari pengaruh totokan dan Ci Kang lalu bangkit duduk sambil mengatur pernapasan.

"Aku sungguh tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh suci tadi."

Hui Cu mengomel sambil duduk di depan Ci Kang. Pemuda ini menatap wajah yang manis itu dan merasa kagum. Gadis ini sungguh masih bersih dan polos, batinnya belum tercemar kekotoran yang mengelilingi keluarganya.

"Sucimu itu jahat sekali, Hui Cu. Dan kalau tadi aku tidak tertotok, tentu akan kuserang dan kurobohkan sucimu."

Gadis itu memandang dengan alis berkerut, agaknya bingung dan tidak mengerti.
"Kenapa akan kau lakukan itu?"

"Karena ia jahat dan berbahaya bagi orang lain dan ibumu juga."

"Engkau akan menyerang dan membunuh ibuku pula?"

"Kalau mungkin, walaupun ibumu lihai sekali. Mereka itu jahat bukan main, mereka adalah datuk-datuk sesat, bahkan ibumu dijuluki Ratu Iblis. Mereka itu hanya menyebarkan perbuatan jahat dan kejam dan merupakan ancaman bagi keselamatan orang-orang lain yang tidak berdosa dan mengotorkan bumi."

"Engkau... benci kepada mereka?"

Mendengar pertanyaan ini, Ci Kang termenung dan mengamati batinnya sendiri. Tidak, dia tidak benci siapapun. Apa yang diajarkan oleh Ciu-sian Lo-kai tentang cinta dan benci dan dendam sudah mendalam di dalam batinnya dan dia tidak merasa membenci siapapun juga. Akan tetapi dia merasa harus menentang orang-orang seperti Ratu Iblis dan Siang Hwa karena mereka itu jahat dan berbahaya bagi manusia pada umumnya, seperti juga dia menentang ayahnya sendiri yang sama sekali tidak dibencinya.

Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: