*

*

Ads

Rabu, 07 Maret 2018

Asmara Berdarah Jilid 115

Dugaan Hui Song memang tidak banyak selisihnya dengan kenyataan sebenarnya. Kedatangan Hui-to Cin-jin dan Kang-thouw Lo-mo ke markas San-hai-koan itu selain untuk berunding dimana dua orang kakek itu membongkar keadaan diri Cia Hui Song, juga dua orang kakek itu diutus oleh Raja Iblis untuk mengundang Ji-ciangkun agar pada malam itu juga datang menemui Raja Iblis di suatu tempat tersembunyi tidak jauh dari San-hai-koan!

Setelah dia memanggil para perwira pembantu dan kepercayaannya, memberi tahu kepada mereka agar mulai saat itu juga mereka semua mengamat-amati semua gerakan gubernur itu, Ji-ciangkun lalu berangkat naik kuda bersama dua orang tamunya. Dia tidak membawa pengawal karena memang tidak boleh sembarang orang datang menghadap Raja Iblis. tadinya Moghul juga diundang, akan tetapi mengingat bahwa orang Mongol itu berada dalam keadaan terluka dan tidak dapat berjalan, yang berangkat hanyalah Ji-ciangkun saja bersama dua orang tokoh Cap-sha-kui itu.

Malam itu terang bulan dan tiga orang yang menunggang kuda itu berhenti di sebuah lereng bukit. Dua orang kakek itu memberi isyarat kepada Ji-ciangkun untuk menghentikan kuda masing-masing dan menambatkan kuda mereka itu pada batang pohon.

"Dari sini kita harus berjalan kaki dan jangan sekali-kali mengeluarkan suara," kata Hui-to Cin-jin berbisik.

"Lihat saja isyarat tangan kami. Kalau bicara sebelum ditanya, dapat mengakibatkan bencana," kata pula Kang-thouw Lo-mo.

Mendengar ucapan dua orang kakek itu dan melihat sikap mereka seperti orang yang amat takut, diam-diam Ji-ciangkun bergidik. Dia sendiri belum pernah bertemu dengan Raja dan Ratu Iblis, dan dia hanya mendengar bahwa Raja Iblis adalah seorang pangeran yang bernama Toan Jit-ong dan bahwa tokoh ini memiliki ilmu kepandaian yang tidak lumrah manusia dan mempunyai watak yang amat aneh dengan wibawa melebihi kaisar sendiri!

Setelah mereka berjalan kira-kira setengah jam lamanya, menyusup-nyusup melalui semak-semak belukar, akhirnya mereka tiba di sebuah lereng terbuka dan dari jauh, di bawah sinar bulan purnama, nampaklah tembok-tembok nisan kuburan berjajar-jajar. Dua orang kakek itu berhenti memandang ke arah tanah kuburan itu dan ketika Ji-ciangkun memandang kepada mereka, dua orang itu tanpa bicara menuding ke arah tanah kuburan itu.

"Di sanakah...?" Ji-ciangkun berbisik.

"Sssstt!"

Hui-to Cin-jin menegur dan menaruh telunjuk ke depan mulut, lalu mengangguk membenarkan. Mereka lalu maju lagi perlahan-lahan menghampiri tanah kuburan yang sudah nampak dari jauh itu.

Ketika mereka tiba di luar tanah pekuburan, tiba-tiba dua orang kakek itu memegang lengan Ji-ciangkun dan memberi isyarat agar diam dan tidak mengeluarkan suara, mereka hanya memandang ke depan. Panglima itu ikut memandang dan matanya terbelalak, wajahnya berobah pucat. Memang amat mengerikan apa yang terlihat olehnya di tengah kuburan itu. Biarpun sinar bulan redup, namun lambat laun matanya sudah terbiasa dan dia dapat melihat dengan jelas apa yang terjadi di tengah kuburan itu.

Di antara kuburan-kuburan yang nampak sudah kuno dan tidak terawat, nampak dua orang yang sedang berlatih ilmu kesaktian yang amat luar biasa. Seorang diantara mereka, adalah seorang pria yang rambutnya sudah putih semua, awut-awutan dan riap-riapan, jenggot dan kumisnya pendek, tubuhnya jangkung dan wajah yang tertimpa sinar bulan itu nampak seperti topeng saja, agak kehijauan dan dingin seperti muka mayat, sepasang matanya yang kehijauan mencorong seperti mata harimau, pakaiannya yang berwarna putih dan kuning itu longgar dan kedodoran, usianya sukar ditaksir berapa karena biarpun rambutnya sudah putih semua, akan tetapi wajah seperti topeng itu sukar ditaksir usianya, mungkin saja empat puluh atau mungkin juga enam puluh tahun lebih.

Dan orang ini sedang duduk di atas tumpukan tengkorak-tengkorak manusia! Sedikitnya ada lima puluh buah tengkorak yang ditumpuk berbentuk kerucut itu dan dia kini duduk bersila di atas tumpukan tengkorak itu.

Baru duduk di atas tumpukan tengkorak saja sudah merupakan hal yang sukar dilakukan, karena tengkorak yang hanya bertumpuk-tumpuk itu tentu akan runtuh kalau di puncaknya diduduki orang.

Akan tetapi kakek itu dapat duduk dengan tegak, bersila dan matanya memandang tajam ke depan. Di depannya, terpisah kurang lebih tiga tombak, ada tumpukan tengkorak lain seperti yang didudukinya. Dan di atas tumpukan tengkorak kedua berdiri seorang wanita, akan tetapi berdiri dengan kepala di bawah dan kedua kaki lurus ke atas!

Wanita inipun rambutnya putih riap-riapan, pakaian dan wajahnya sama dengan yang pria, mukanya yang ada garis-garis cantik itu nampak dingin dan kaku, dan pakaiannya juga longgar dan kedodoran sehingga karena ia berdiri jungkir balik di atas tumpukan tengkorak, jubahnya tersingkap ke bawah dan nampak celananya yang berwarna putih.

"Sudah slap?" terdengar suara yang halus akan tetapi mengandung getaran kuat dari pria yang duduk bersila itu.






"Siap," jawab wanita itu dengan tubuh yang jungkir balik itu sama sekali tidak bergoyang.

"Mulai...!" kata pula yang pria.

Kedua orang itu kini meggerakkan sepasang tangan ke depan, dengan gerakan mendorong, dengan jari-jari tangan terbuka dan telapak tangan menghadap ke depan.

"Tarrrr...!" terdengar ledakan di tengah udara antara keduanya seolah-olah ada suatu tenaga tak nampak yang saling bertemu dan beradu di udara!

Dan mereka berdua melakukan adu tenaga ini berulang kali. Setiap kali tentu terdengar suara ledakan itu, akan tetapi, kini setiap ledakan makin mendekati si wanita, seolah-olah tenaga yang bertemu itu kini tidak seimbang lagi dan tenaga si wanita terpukul mundur.

"Jagalah ini...!" Tiba-tiba si pria berseru dan kembali mereka saling dorong.

"Tarr... brukkkkk...!"

Tubuh wanita itu jungkir balik meloncat ke atas dan tumpukan tengkorak yang tadi terinjak kepalanya itu berantakan, dan ada beberapa buah tengkorak yang pecah berhamburan seperti diterjang tenaga dahsyat!

"Tenagaku masih kurang kuat...!"

Wanita itu menarik napas ketika ia sudah turun dan berdiri tak jauh dari pria yang masih duduk bersila itu.

"Siapa bilang? Engkau sudah kuat sekali dan hampir aku tidak tahan. Lihat ini!"

Diapun melayang turun dari atas tumpukan tengkorak dan begitu menendang, tumpukan tengkorak itu berantakan dan ada empat buah tengkorak yang berada paling atas, remuk menjadi debu!

Melihat pertunjukan yang seperti sulap atau sihir itu, diam-diam Ji-ciangkun menjadi terkejut ngeri dan juga gentar hatinya. Apalagi ketika tiba-tiba dua orang berambut putih itu menoleh ke arah mereka.

"Majulah kalian!" Wanita itu berseru sambil menggapai dengan jari-jari tangannya yang berkuku runcing.

Hui-to Cin-jin dan Kang-thouw Lo-mo segera maju, sedangkan Ji-ciangkun mengikuti dari belakang. Dua orang kakek itu menjatuhkan diri berlutut di depan Raja Iblis, dan panglima itu yang merasa bahwa dia hanyalah sekutu, bukan anak buah iblis-iblis itu, hanya menjura dengan hormat.

"Inikah Ji-ciangkun dari San-hai-koan?" tanya wanita itu yang bukan lain adalah Ratu Iblis.

Seperti biasa, ialah yang menjadi juru bicara suaminya, sedangkan Raja Iblis hanya berdiri memandang dengan sepasang matanya yang mencorong kehijauan.

"Benar, toanio, saya adalah Ji Sun Ki, panglima di San-hai-koan. Saya datang memenuhi undangan Ong-ya melalui Cin-jin dan Lo-mo."

Raja Iblis memberi isyarat kepada mereka untuk duduk di atas tanah, sedangkan dia sendiri duduk di atas tumpukan kecil tengkorak. Isterinya duduk pula di atas tumpukan kecil tengkorak, sedangkan dua orang kakek pembantu mereka itupun masing-masing mengambil sebuah tengkorak untuk dijadikan tempat duduk.

Ji-ciangkun sendiri merasa ngeri kalau duduk di atas tengkorak manusia itu, maka dia hanya menduduki sebuah batu nisan.

"Ji-ciangkun," terdengar suara Raja Iblis. Jarang dia bicara, akan tetapi agaknya kini dia merasa betapa pentingnya merangkul panglima ini untuk mulai menyalakan api pemberontakan. "Apakah sewaktu-waktu benteng itu dapat kita kuasai?"

Agak lega rasa hati Ji-ciangkun mendengar suara Raja Iblis. Ternyata suaranya halus dan bahasanya rapi seperti biasa dipergunakan para bangsawan atau orang terpelajar.

"Semua sudah saya persiapkan, Ong-ya. Sepuluh ribu perajurit yang tergabung dalam pasukan di benteng San-hai-koan, sebagian besar dikuasai oleh perwira-perwira pembantu saya. Yang mungkin akan menentang tidak lebih dari dua tiga ribu perajurit saja yang akan mudah diatasi. Akan tetapi, Kok-taijin sukar diajak berdamai dan tidak mungkin bekerja sama. Dari dialah mungkin datangnya tentangan dan halangan."

"Kekuatannya?" tanya Raja Iblis itu tenang.

"Lumayan. Ada seribu orang pasukan pengawal yang akan selalu membelanya. Apalagi baru-baru ini dia memperoleh seorang pengawal pribadi yang lihai..."

Ji-ciangkun berhenti karena pada saat itu Hui-to Cin-jin yang melihat keraguannya menyambung.

"Ong-ya, orang yang menjadi pengawal pribadi Kok-taijin itu telah mengalahkan Moghul dan dia bukan lain adalah putera ketua Cin-ling-pai!"

Raja Iblis mengerutkan alisnya dan mengelus jenggotnya yang pendek.
"Hemm, bukankah Bin Mo To dari Ceng-tao itu sudah memberikan janjinya akan membantu, dan juga mantunya, ketua Cin-ling-pai akan membantu pula kalau sudah tiba waktunya? Apakah keluarga itu akan melanggar janji?"

"Hamba tidak tahu, Ong-ya. Akan tetapi kita memang tidak boleh terlalu percaya kepada orang-orang seperti ketua Cin-ling-pai itu. Apalagi Bin Mo To yang sudah lama mencuci tangan, tidak seperti dahulu ketika dia masih berjuluk Tung-hai-sian."

"Pemuda itu harus dibunuh, juga kalau mungkin, secepatnya Kok-taijin yang menjadi penghalang itu harus dibunuh!" kata Raja Iblis kepada Ji-ciangkun.

Ji-ciangkun mengerutkan alisnya.
"Maaf, Ong-ya. Saya sudah menyuruh anak buah mengawasi pemuda she Cia itu. Dan kalau perlu, kiranya tidak begitu sukar membunuhnya dengan pengeroyokan. Akan tetapi membunuh Kok-taijin saya kira tidak bijaksana, bahkan akibatnya bisa amat merugikan."

"Mengapa?"

"Seperti telah saya katakan tadi, Kok-taijin mempunyai pasukan pengawal yang setia kepadanya, kurang lebih seribu orang. Kalau saya menyerangnya secara berterang, tentu seribu orang pengawal itu akan memberontak dan melawan, dan kalau terjadi demikian, tentu dua tiga ribu orang pasukan yang belum dapat saya tundukkan itu akan bergabung. Hal ini akan menimbulkan perang sendiri dalam benteng dan biarpun kita dapat menang, namun tentu akan mengalami kerugian banyak pasukan. Lebih baik kalau dapat kita pergunakan akal agar benteng jatuh ke tangan kita tanpa banyak korban, dan lebih baik lagi kalau kita dapat memaksa Kok-taijin menakluk kepada kita."

"Caranya? Dengan menawannya dan memaksanya?" Raja Iblis bertanya.

Ji-ciangkun menggeleng kepala.
"Biarpun dia seorang sipil, namun Kok-taijin memiliki hati yang keras. Andaikata dia ditangkap dan disiksa sekalipun, jangan harap dia akan mau menakluk. Akan tetapi, dia hanya mempunyai seorangi anak, yaitu anak perempuan yang baru berusia sepuluh tahun. Kalau kita menculik anak itu, besar kemungkinan dia mau tunduk dan menurut, demi keselamatan anaknya yang amat disayangnya."

"Bagus! Lakukanlah itu, Ji-ciangkun. Ingat kami tidak akan mau bergabung denganmu sebelum kau berhasil menguasai benteng San-hai-koan. Setelah berhasil, barulah engkau akan resmi menjadi panglima besar semua pasukan kita dan kelak engkau tentu akan tetap menjadi panglima kerajaan baru kita."

Wajah Ji-ciangkun berseri gembira membayangkan kedudukan yang akan diperolehnya kalau gerakan mereka berhasil. Dan dia yakin akan berhasil setelah dia bertemu dengan bekas pangeran yang sakti luar biasa ini.

Setelah mengadakan perundingan dengan matang dan Raja Iblis menyatakan siap membantu kalau terdapat kesukaran dalam pengambil-alihan kekuasaan di San-hai-koan itu, Ji-ciangkun lalu kembali ke San-hai-koan, dikawal oleh dua orang kakek iblis.

Sementara itu, Hui Song yang keluar dari San-hai-koan dengan berkuda, baru kira-kira meninggalkan benteng itu sejauh sepuluh li, dia mendengar suara derap kaki kuda dari belakang. Pemuda ini dapat menduga bahwa derap kaki banyak kuda itu tentulah pasukan dan kemana lagi malam-malam begitu ada pasukan membalapkan kuda mereka kalau bukan untuk mengejar dirinya? Dia sama sekali tidak merasa takut, akan tetapi karena dia sedang membawa tugas yang amat penting, dia tidak mau menunda perjalanan itu dengan perkelahian melawan pasukan yang mengejarnya.

Maka diapun lalu berhenti, mengumpulkan bekalnya dan diikatnya buntalan itu di punggungnya, kemudian dia mencambuk kuda itu, diusir dan dikejarnya agar kuda itu lari ke lain jurusn, bukan ke jurusan Ceng-tek, melainkan ke timur. Kuda itu ketakutan dan lari cepat, dia masih mengejarnya dengan lemparan-lemparan batu sehingga kuda itu lari tunggang-langgang. Setelah itu, Hui Song meloncat naik ke atas dahan pohon dan bersembunyi di balik daun-daun lebat.

Tak lama kemudian, muncullah serombongan pasukan itu dan ternyata jumlah mereka ada seratus orang! Akan sukar juga kalau dia harus melawan orang sedemikian banyaknya, dan juga akan membuang-buang waktu saja. Pasukan itu berhenti, memeriksa tanah dengan obor-obor dan akhirnya mereka membelok ke kiri, mengejar kuda yang meninggalkan jejak di atas tanah itu.

Setelah pasukan itu membalapkan kuda ke timur, barulah Hui Song meloncat turun dari atas pohon, lalu mempergunakan ilmu lari cepat, lari ke selatan lalu ke barat, menuju ke Ceng-tek. Jarak yang ditempuhnya akan makan waktu sehari semalam, dan pada besok malam baru dia akan tiba di Ceng-tek.

**** 115 ****
Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: