*

*

Ads

Kamis, 15 Juni 2017

Pendekar Sadis Jilid 114

Menerima pertanyaan seperti ini, pertanyaan yang langsung menyerang perasaan hatinya, seketika wajah yang tadinya pucat itu kini berubah merah sekali. Sesaat ia lupa akan rasa takutnya dan dengan sikap menarik sekali ia cemberut, matanya mengerling penuh tantangan mesra, dan bibirnya memperlihatkan ejekan-ejekan yang membuat bibir itu makin menggairahkan, lalu katanya lirih,

"Habis, engkau mengartikan bagaimana? Aku tidak tahu..."

"Bukankah itu berarti bahwa engkau tertarik kepadaku? Bahwa kalau aku yang juga amat tertarik dan jatuh cinta padamu mengulurkan tangan kepadamu dan mengajakmu saling menumpahkan kasih sayang dan bermain cinta, engkau akan menerimanya dengan girang?"

Menghadapi kata-kata yang luar biasa beraninya, yang membuka segalanya tanpa pura-pura lagi itu, Leng Ci menundukkan mukanya dan ia merasa malu sekali. Malu bercampur tegang karena memang harus diakuinya bahwa ia amat tertarik kepada pemuda tampan yang amat pandai mengambil hati orang ini.

"Ihhh... siapa jatuh cinta...?"

Hanya ini yang dapat diucapkannya sambil tunduk dan dari bawah, kedua matanya mengerling demikian tajamnya melebihi sepasang pedang pusaka yang langsung menembus jantung Thian Sin.

"Nona Leng Ci, kalau saya menolong nona, menyelamatkan nona dari ancaman hukuman mati, dan sekarang melindungi nona dari raja, hal itu bukan sekali-kali karena saya mengharapkan balasan. Melainkan karena saya memang tertarik dan jatuh cinta kepadamu yang cantik menarik ini. Tentu saja ada harapan di dalam hati ini agar nona juga dapat membuka perasaan hati nona yang kalau saya tidak salah taksir, juga tertarik kepada saya. Nah, sekarang bagaimana? Maukah engkau menyambut uluran tanganku ini? Akan tetapi, penyambutan yang suka rela, dengan sepenuh perasaan, bukan karena terpaksa, bukan pula karena hanya sekedar membalas jasa..."

Sambil menghentikan kata-katanya dan memandang dengan sinar mata penuh ajakan, Thian Sin mengembangkan kedua lengannya ke depan, ke arah wanita itu.

Biarpun wajahnya merah sekali dan kepalanya masih ditundukkan, malu sekali dan tidak dibuat-buat, namun Leng Ci melangkah maju dan masuk ke dalam pelukan Thian Sin, membiarkan kedua lengan itu melingkari tubuhnya dan iapun tidak menolak ketika pemuda itu menariknya sehingga ia terduduk di atas pangkuan pemuda itu.

"Engkau senang begini?" tanya Thian Sin. "Bukan hanya untuk membalas budi?"

Wanita itu tersenyum manis dan sepasang matanya mengeluarkan cahaya mesra, akan tetapi tubuhnya gemetar dan ia berkata,

"Tapi... tapi... Sri Baginda..."

Thian Sin melepaskan rangkulannya dan menurunkan wanita itu, lalu bangkit berdiri.
"Ah, kiranya dalam keadaan begini engkau masih teringat kepada Sri Baginda? Jadi engkau mencinta raja dan tidak mau mengkhianatinya?"






"Bukan, bukan, kongcu! Siapa mencinta tua bangka itu? Dia memaksaku menjadi selir, setelah pasukannya membasmi perkampungan kami, bahkan orang tuaku tewas dalam serbuan itu. Aku dipaksanya menjadi selir, dan hanya untuk menyelamatkan diri dan untuk menikmati kehidupan mulia dan mewah saja aku bersikap manis kepadanya. Siapa sih yang sudi berdekatan dengan tua bangka mata keranjang itu? Akan tetapi... aku teringat dia karena takut. Bagaimana kalau dia mengetahui hubungan kita?"

"Aku tertarik dan suka padamu, dan aku berani menempuh bahaya untuk mendapatkan cintamu. Kalau engkau takut, kembalilah sana kepada raja!"

"Tidak... tidak, kongcu... ah, tentu saja aku lebih suka padamu. Biarlah kalau engkau mau melindungiku, aku akan mentaati segala kehendakmu, biar aku mati hidup bersamamu." Wanita itu menubruk dan merangkulnya.

Melihat wanita ini telah menjadi jinak, Thian Sin tersenyum.
"Bagus! Nah, mulai sekarang ini, engkau harus taat kepadaku, mengerti?"

Wanita cantik itu mengangguk dan menahan isaknya ketika Thian Sin mendekap dan menciumnya, bahkan membalas peluk cium itu dengan hangat. Thian Sin memondongnya dan segera keduanya tenggelam dalam buaian natsu berahi yang amat panas.

Semenjak pergi meninggalkan So Cian Ling, wanita terakhir yang menjadi kekasihnya, telah lebih dari setengah tahun Than Sin tidak pernah berdekatan atau berhubungan dengan wanita. Dia menggembleng diri bertapa dan memperdalam ilmunya selama berbulan-bulan dan menahan nafsunya.

Sedangkan Leng Ci adalah seorang wanita muda yang selama ini harus melayani seorang pria tua yang sebenarnya dibencinya dan baru sekarang selama hidupnya dia bertemu dan berhubungan dengan seorang pria muda tampan yang menarik hatinya. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila pertemuan antara mereka seperti seekor ikan kekeringan bertemu dengan air danau yang segar, dimana ikan itu dapat berenang sepuasnya.

Dengan dalih "mengobati" Leng Ci, Thian Sin dapat bersenang-senang sepuas-puasnya dengan wanita itu, bahkan Raja Agahai sendiri tidak berani mengganggunya. Raja itu hanya dapat bertanya dari luar pintu saja menanyakan keadaan selirnya tercinta.

"Sedikit lagi Sri Baginda," jawab Thian Sin dari dalam. "Harap Paduka bersabar dan jangan diganggu..."

"Tapi, Torgan telah dihukum mati. Bagaimana dia dapat mengganggu lagi?" bantah Sang Raja yang sudah merasa rindu kepada selirnya itu.

"Justeru itulah!" jawab Thian Sin cepat, "Rohnya yang jahat itu membalas dendam dan mempertahankan pengaruhnya atas diri selir Paduka."

Dengan alasan ini, Thian Sin dapat berdiam berdua saja dengan wanita itu, bahkan para dayang yang melayani mereka, mengantar makan minum dan sebagainya, hanya diperbolehkan sampai di pintu saja dan tidak terus masuk, mereka itu hanya dapat melihat selir raja itu rebah terlentang di balik kelambu!

Tentu saja semua ini hanyalah permainan Thian Sin yang dibantu oleh Leng Ci. Kini wanita itu sepenuhnya berpihak kepadanya, tunduk dan taat karena memang wanita itu sudah jatuh cinta betul-betul kepada Thian Sin.

Dan di waktu malamnya, Thian Sin meninggalkan Leng Ci di dalam kamar, menyuruh wanita itu mengunci semua pintu dan jendela, sedangkan dia sendiri keluar melalui jendela dan mengadakan pertemuan dengan Menteri Abigan dan rekan-rekannya yang mempersiapkan segala untuk kepentingan rencana pemberontakan mereka menentang Raja Agahai.

Dengan cerdiknya, Menteri Abigan mulai menyadarkan para panglima dan pembesar akan kelaliman Agahai, dan melalui beberapa orang panglima yang berpihak kepada komplotan ini mulai memindah-mindahkan tugas penjagaan sehingga pada saat yang sudah direncanakan, para pengawal yang menjaga istana adalah sebagian besar orang-orang mereka!

Tiga hari kemudian, setelah rencana mereka matang, Thian Sin memberi tahu kepada para dayang di luar pintu agar mereka memberi tahu kepada Raja Agahai bahwa dia kini sudah siap menerima kunjungan raja dan bahwa selir raja itu sudah sembuh sama sekali.

Tentu saja berita ini amat menggirangkan hati Raja Agahai yang pada pagi hari itu sudah mulai kehabisan kesabarannya menanti-nanti. Betapapun juga, ada rasa cemburu di dalam hatinya mengingat betapa selirnya yang tercinta, yang cantik jelita dan manis itu, telah berada di dalam kamar berdua saja dengan tukang sulap muda dan tampan itu selama dua malam tiga hari. Maka, begitu mendengar berita dari para dayang, Raja Agahai cepat bergegas mendatangi kamar itu dan mengetuk pintu kamar.

Karena keinginan tahu yang amat besar, ditambah dengan rasa rindu terhadap selirnya, maka Raja Agahai menjadi lengah dan dia setengah berlari menuju ke kamar tamu itu tanpa minta perlindungan para pengawal pribadinya. Dia sudah tidak sabar lagi, selain ingin segera melihat dan mengetahui keadaan kekasihnya, juga ingin segera dapat
memeluk kembali.

"Silakan masuk!" terdengar suara Thian Sin, "Daun pintu tidak terkunci."

Raja Agahai mendorong daun pintu dan memasuki kamar itu, sedangkan para dayang yang duduk di luar pintu sudah menjatuhkan diri berlutut ketika raja itu muncul. Ketika Raja Agahai memasuki kamar itu dan daun pintu kamar ditariknya tertutup kembali dan dia melangkah maju menembus tirai sutera hijau itu, dia melihat sesuatu di dalam cuaca remang-remang dalam kamar, sesuatu yang membuat dia terbelalak dan langkah kakinya seketika terhenti.

Dia tidak percaya akan apa yang dilihatnya itu, maka digosok-gosoknya matanya dan dia kini melangkah lagi maju menghampiri untuk dapat melihat lebih jelas lagi. Akan tetapi, penglihatan itu tidak berubah, masih seperti tadi, yaitu Thian Sin duduk di tepi pembaringan dan selirnya, Leng Ci yang cantik jelita dan manis, selirnya yang tercinta itu, dengan pakaian dalam yang tipis yang kusut, seperti juga rambutnya, duduk di atas pangkuan pemuda itu!

Seperti seekor kucing manja, wanita itu duduk di atas pangkuan, bergantung kepada leher pemuda itu dengan kedua lengannya yang berkulit halus, mengangkat mukanya dekat dengan muka pemuda itu dan memandang penuh kemesraan!

Dan Thian Sin, seolah-olah tidak melihat kedatangan raja itu, lalu menunduk dan di lain saat keduanya sudah berciuman dengan mesra sekali, dan raja itu melihat betapa kedua lengan selirnya merangkul semakin ketat.

Mereka berciuman lama sekali dan baru Thian Sin menghentikan ciumannya ketika mendengar sang Raja membentak.

"Keparat! Apa artinya ini?"

Raja Agahai yang tadinya menaruh kepercayaan sepenuhnya kepada Thian Sin yang dianggap penyelamat puteranya dan pembongkar rahasia pengkhianatan Torgan, kini masih meragu. Siapa tahu apa yang dilakukan pemuda itu adalah dalam rangka pengobatan dan penyembuhan selirnya!

Thian Sin mengangkat muka memandang, tersenyum mengejek. Leng Ci yang masih duduk di atas pangkuan pemuda itu dan masih merangkul lehernya, juga menengok dan Sang Raja terheran. Belum pernah dia melihat selirnya itu berwajah sedemikian cantiknya, dengan sepasang mata yang redup dan sayu, entah karena kehausan ataukah kepuasan, akan tetapi sepenuhnya selirnya itu membayangkan seorang wanita yang sedang dalam puncak berahi.

Thian Sin mengecup bibir Leng Ci lalu berkata,
"Manis, si tua bangka telah datang, kau istirahatlah dulu, dan lihat apa yang akan kulakukan padanya."

Leng Ci tersenyum, mengangguk, lalu turun dari atas pangkuan dan duduk di tengah-tengah pembaringan.

Baju dalamnya tersingkap dan nampak bukit buah dadanya yang biasanya amat dikagumi oleh Raja Agahai. Akan tetapi, wajah Agahai telah berubah sebentar pucat dan sebentar merah saking kaget dan marahnya mendengar ucapan Thian Sin tadi.

"Hauw Lam! Apa artinya ini?"

Kembali dia membentak. Thian Sin turun dari pembaringan dan melangkah maju dengan sikap tenang akan tetapi mulutnya tersenyum mengejek dan sepasang matanya mengeluarkan sinar mencorong yang menakutkan Sang Raja.

"Artinya, Agahai, sudah jelas. Yaitu bahwa Leng Ci telah menjadi kekasihku, bahwa kini tibalah saat terakhir dari kejayaan dan kelalimanmu. Selama ini engkau telah buta, tidak tahu dengan siapa engkau berhadapan!"

Mendengar kata-kata kasar dan melihat sikap yang sama sekali berubah ini Raja Agahai terkejut bukan main. Dia memandang dengan mata terbelalak.

"Apa artinya ini...? Siapa... siapa engkau...?"

"Hemm, raja lalim, manusia jahat dan busuk, engkau sungguh tolol. Si Torgan itu lebih cerdik, akan tetapi dia telah kau hukum mati. Ha-ha, sungguh engkau manusia yang paling busuk di dunia ini. Selirmu Leng Ci sama sekali tidak pernah berhubungan dengan aku, menjadi kekasihku. Dan Torgan tidak pernah berbuat apa-apa terhadap anakmu. Akulah yang telah membuat anakmu sakit dan melemparkan fitnah kepada Torgan. Mengertikah engkau sekarang, Agahai?"

Tentu saja Raja Agahai menjadi terkejut dan marah bukan main.
"Tapi... mengapa? Apa yang terjadi?" Raja itu berteriak bingung.

"Kepadamu aku mengaku bernama Hauw Lam dan memang aku adalah seorang hauw-lam (putera berbakti). Dahulu, pernah aku datang mengunjungi tempat ini, sebagai seorang anak berusia sepuluh tahun dan ketika itu namaku adalah Ceng Thian Sin..."

Raja Agahai mundur selangkah.
"Apa... kau? Ceng... Ceng Thian Sin...!"

"Ha-ha-ha, baru engkau teringat sekarang?"

"Thian Sin! Engkau... cucu keponakanku sendiri...!"

Pendekar Sadis







Tidak ada komentar: