*

*

Ads

Rabu, 10 Mei 2017

Pendekar Sadis Jilid 047

"Ih, Siangkoan-kongcu terlalu memuji orang. Jangan terlalu tinggi mengangkatku, kongcu, kalau terlepas dan jatuh, bisa remuk aku!" kata wanita itu sambil tersenyum lebar, memperlihatkan deretan gigi yang putih indah dan sekilas nampak ujung lidah yang merah.

Thian Sin ikut tertawa. Senang hatinya karena wanita itu ternyata selain ramah, juga pandai bicara. Akan tetapi Han Tiong beberapa kali menengok ke kanan kiri, memandang ke arah para tamu lain dengan hati kurang enak. Dia merasa yakin bahwa tentu ada udang di balik batu, ada apa-apanya di balik undangan makan pemuda kaya dan royal ini. Dan hatinya semakin merasa tidak enak melihat betapa pandang mata para tamu lain, hanya melalui kerlingan, mengandung iri hati!

Tiba-tiba semua orang tertarik oleh bunyi gaduh kaki orang melangkah dengan kasar menaiki tangga yang menuju ke loteng.

"Tidak peduli dia bersama siapa, aku harus bertemu dengan dia!"

Terdengar suara seorang laki-laki, suara yang kasar dan mengandung kemarahan.
Mendengar suara ini, Siang Hwa kelihatan ketakutan dan wajahnya yang cantik manis itu berubah pucat.

"Celaka, Siangkoan-kongcu, dia benar-benar datang menyusul!" katanya kepada Siangkoan Wi Hong.

"Tenanglah, biar saja, hendak kulihat dia akan berbuat apa," kata Siangkoan Wi Hong dan melihat sikap pemuda hartawan ini yang demikian tenang, diam-diam dua orang pemuda dari Istana Lembah Naga itu merasa kagum juga.

Mereka menduga bahwa tentu pemuda yang mempunyai alat musik yang-kim ini agaknya pandai pula ilmu silat, maka menghadapi ancaman orang dia kelihatan tenang saja. Apalagi kalau diingat bahwa alat musik itu bentuknya seperti senjata, maka dua orang muda itu makin yakin akan dugaan mereka dan diam-diam mereka ingin sekali melihat apa yang akan terjadi. Mereka tidak merasa khawatir karena yang akan menghadapi urusan keributan adalah pemuda she Siangkoan itu, bukan mereka.

Mereka sama sekali tidak mencari perkara, bahkan untuk menjaga agar jangan sampai membikin orang lain merasa tidak senang, mereka telah menerima undangan makan dan suguhan orang she Siangkoan itu, walaupun mereka merasa tidak enak sekali harus duduk makan semeja dengan seorang pelacur.

Mereka tadi membayangkan dengan hati kecut betapa akan sikap ayah dan ibu mereka kalau melihat mereka duduk mengobrol dan makan semeja dengan seorang pelacur, pelacur yang menjadi kembang pelacur di kota raja!

Muncullah orang yang membuat gaduh itu. Dia seorang pria yang usianya sudah mendekati tiga puluh tahun, bermuka bopeng dan hitam, pakaiannya menunjukkan bahwa dia seorang yang kaya, dan rambutnya mengkilap licin terlalu banyak minyak, digelung dan diikat dengan sutera biru, tubuhnya tinggi tegap dan matanya yang besar itu terbelalak penuh kemarahan, agak merah karena dia agaknya terlalu banyak minum arak.

Di belakangnya nampak dua orang laki-laki yang usianya sekitar empat puluh tahun, berpakaian seperti guru silat, dengan pedang di punggung dan sikap mereka serius dengan pandang mata yang membayangkan kesungguhan dan ketinggian hati.

Semua tamu menjadi panik dan ketakutan karena mereka maklum bahwa tentu akan terjadi keributan, apalagi ketika mereka mengenal siapa adanya laki-laki bermuka hitam bopeng ini.






Begitu laki-laki muka bopeng itu melihat Siang Hwa yang duduk bersama tiga orang muda, dia terbelalak semakin marah dan dengan langkah lebar dia lalu menghampiri meja itu. Banyak di antara para tamu diam-diam turun dari loteng itu, akan tetapi yang bernyali lebih besar tidak turun melainkan bersembunyi di balik meja-meja sambil menonton.

"Heh, pelacur busuk, perempuan hina-dina! Berani engkau menolak Ji-siauwya (tuan muda Ji) dan melarikan diri untuk pesta dengan orang-orang disini? Engkau telah menghinaku, keparat!"

Si Muka Bopeng itu berteriak-teriak dan telunjuknya yang besar menuding ke arah muka Siang Hwa yang sudah menggigil ketakutan.

"Sudah... sudah saya beri tahu bahwa saya tidak sempat..." Wanita itu coba untuk memberi alasan.

"Tidak sempat melayaniku akan tetapi ada waktu untuk pesta disini, ya? Engkau pelacur hina, perempuan rendah! Tidak tahukah engkau siapa aku? Berapa hargamu? Biar kepalamupun sanggup aku membelinya! Coba katakan, berapa engkau disewa oleh mereka ini? Aku berani membayarmu tiga kali lipat!"

"Siauwya, harap maafkan aku..." Siang Hwa membujuk dan memperlihatkan muka manis. "Biarlah besok saya menerima kunjungan siauwya..."

"Apa? Kau kira hanya uang saja yang dapat kuberikan? Kau kira aku tidak dapat melakukan kekerasan? Siapa berani menghalangi aku? Sekarang juga engkau harus berlutut minta ampun dan ikut bersamaku. Sekarang juga, mengerti? Kalau tidak..."

Dia menghampiri sebuah meja yang telah ditinggalkan tamunya dan tangan kanannya yang besar itu diangkat lalu ditamparkan dengan kuat-kuat ke atas meja itu.

"Brakkk!"

Meja itu pecah dan sebuah mangkok yang masih ada kuahnya terpental, isinya muncrat dan mengenai muka Si Bopeng itu sendiri! Si Bopeng gelagapan dan menjadi semakin marah ketika terdengar suara orang tertawa. Yang tertawa itu adalah Siangkoan Wi Hong.

Orang she Ji itu mengusap mukanya yang berlepotan kuah, matanya dikejap-kejapkan karena agak pedas terkena kuah yang mengandung merica itu. Setelah dia dapat membuka mata, dia melotot memandang kepada Siangkoan Wi Hong.

"Bocah keparat! Kau berani mentertawakan aku? Hayo kau merangkak keluar kalau tidak ingin kuhancurkan kepalamu!" bentak pemuda muka bopeng itu kepada kongcu yang tampan dan yang sejak tadi tersenyum lebar itu.

"Hemm, aku masuk restoran ini dengan membayar, aku mengundang Siang Hwa pun tidak dengan paksa, mana bisa aku disuruh keluar dengan paksa? Siapa sih engkau ini yang bersikap begini sombong? Tringgg...!"

Orang she Siangkoan itu menyentil sebuah kawat yang-kimnya dan itulah bunyi "tring" sebagai penutup kata-katanya tadi.

Si Muka Bopeng menjadi semakin marah.
"Bocah setan apa engkau sudah buta sehingga tidak mengenal tuan besarmu...?"

"Tringg...!" Yang-kim itu disentil kembali.

"Dengar baik-baik, aku adalah Ji Lou Mu kongcu..."

"Tranggg..."

"Semua orang menghormatiku, hanya engkau ini tikus kecil tak tahu diri!"

"Cringgg...!"

Karena setiap Si Muka Bopeng yang bernama Ji Lou Mu itu berhenti bicara diselingi dengan bunyi trang-tring-trong, maka terdengar lucu seperti anak wayang sedang beraksi di panggung. Hampir saja Thian Sin tidak dapat menahan ketawanya, akan tetapi dia hanya tersenyum dan dia semakin merasa suka dan kagum kepada pemuda she Siangkoan itu.

"Bocah kepar... anghhh...!"

Ketika mulut itu terbuka dan sedang memaki, tiba-tiba pemuda she Siangkoan itu menggunakan sumpitnya menjepit sepotong bakso ikan yang besar dan sekali dia menggerakkan tangan, bakso yang dijepit sumpit itu meluncur dengan kecepatan luar biasa dan tahu-tahu sudah memasuki mulut Ji Lou Mu yang sedang terbuka. Tentu saja Ji Lou Mu gelagapan dan matanya mendelik karena bakso yang tanpa permisi menyelonong ke dalam mulutnya itu tahu-tahu telah menyangkut ke tenggorokannya.

"Aahhh... aukkk... kekkk...!" Dia kebingungan, mulutnya terbuka dan matanya mendelik.

Seorang di antara dua jagoan yang mengawalnya, cepat menepuk punggungnya dengan kuat.

"Blukk!" Dan bakso yang nakal itu meloncat keluar dan mengelinding di atas lantai.

"Hajar dia! Hantam dia...!"

Ji Lou Mu memaki-maki dan menuding-nuding, menyuruh dua orang jagoannya maju seperti seorang memerintahkan dua ekor anjing untuk menyerbu lawan.

Akan tetapi baru saja dua orang jagoan silat itu maju, Siangkoan Wi Hong sudah menggerakkan sumpitnya dengan cepat dan dua potong daging basah menyambar ke arah muka dua orang jago silat itu.

"Plok! Plok!"

Begitu cepatnya daging ini menyambar sehingga dua orang jagoan itu tidak sempat mengelak lagi, dan daging itu tepat mengenai mulut mereka, akan tetapi karena mulut mereka tidak sedang terbuka, maka potongan daging itu tidak masuk, hanya menghantam bibir dan jatuh ke atas lantai. Muka dua orang jagoan itu berlepotan kuah kecap!

"Ha-ha-ha, anjing-anjing peliharaan mengapa tidak suka daging?"

Siangkoan Wi Hong kembali berkata sambil tertawa, kemudian melepaskan sumpitnya, tangan kanannya memainkan kawat-kawat yang-kim sedangkan yang kiri mengambil segenggam kacang goreng. Tangan kirinya lalu melontar-lontarkan kacang goreng itu ke depan, ke arah muka Ji Lou Mu.

"Plak-plak-plak...! Aduhhh... auuw... aduhh...!"

Ji Lou Mu adalah seorang pemuda yang sebetulnya bertubuh dan bertenaga kuat, juga dia sudah mempelajari ilmu silat, akan tetapi pada saat itu dia tidak berdaya sama sekali karena hujan kacang goreng yang tepat mengenai mukanya itu dirasakan seperti hujan batu atau peluru yang amat keras dan kuat menghantami mukanya. Dia berjingkrak-jingkrak dan menutupi kedua mata dengan tangan, dan semua gerakannya ini diiringi suara yang-kim trang-tring-trang-tring sehingga nampak semakin lucu.

Marahlah dua orang jagoan tukang pukul itu ketika mereka diserang dengan sepotong daging dan mereka merasa terhina dan malu sekali.

"Sing! Sing!" Mereka mencabut pedang mereka.

Melihat ini, si kasar Ji Lou Mu juga mencabut sebatang pedangnya, pedang yang indah dan mahal penuh dengan ukiran-ukiran dan hiasan emas permata pada gagangnya. Melihat betapa tiga orang itu mencabut pedang, Han Tiong dan Thian Sin bersikap enak-enak saja, melanjutkan makan sambil kadang-kadang menghirup air teh mereka.

Dua orang kakak beradik ini tadi telah melihat gerakan Siangkoan Wi Hong dan tahulah mereka bahwa biarpun tiga orang kasar ini menggunakan pedang, tak perlu dikhawatirkan keselamatan pemuda tampan itu yang mereka tahu memiliki kepandaian yang tinggi. Akan tetapi Siang Hwa yang ketakutan setengah mati menjerit dan hampir pingsan.

Melihat itu, Thian Sin bangkit dan menahan tubuhnya yang hampir terguling, akan tetapi begitu ditahan oleh tangan pemuda ini, Siang Hwa terus merangkul dengan ketatnya, membuat Thian Sin gelagapan dan pemuda ini cepat mendudukkan Siang Hwa di atas bangku dan dengan halus dia melepaskan diri. Seluruh bulu di tubuhnya meremang dan dia merasa panas dingin ketika dirangkul seperti itu!

"Ha-ha-ha!" Siangkoan Wi Hong masih sempat tertawa menyaksikan adegan itu.

Akan tetapi pada saat itu, Ji Lou Mu telah menerjangnya bersama dua orang tukang pukulnya, pedang mereka berkilauan dan berkelebatan ketika menyerang, membuat para tamu restoran itu menjadi pucat dan ngeri karena mereka sudah membayangkan darah dan mayat!

Dua orang pemuda Lembah Naga itu memandang dengan penuh kagum melihat betapa Siangkoan Wi Hong tetap duduk di atas bangkunya dengan memegang masing-masing sebatang sumpit bambu di kedua tangannya! Dengan sepasang sumpit itulah dia hendak menyambut serangan tiga orang lawannya yang berpedang! Ini terlalu ceroboh, pikir Han Tiong dan diam-diam diapun sudah siap untuk menyelamatkan pemuda itu kalau perlu.

Tetapi tiba-tiba kedua batang sumpit itu dipukulkan ke atas yang-kim dan terdengarlah bunyi trang-tring-trang-tring yang merdu sekali, berlagu merdu akan tetapi kedua orang pemuda Lembah Naga itu terkejut sekali karena mereka merasakan getaran hebat pada jantung mereka oleh bunyi kawat-kawat yang-kim itu!

Dan tiga orang kasar itu juga tiba-tiba menghentikan gerakan mereka, wajah mereka pucat karena mereka diserang oleh suara itu dan pada saat itu, Siangkoan Wi Hong sudah menggerakkan dua batang sumpitnya, menotok ke arah tangan yang memegang pedang.

Pendekar Sadis







Tidak ada komentar: