*

*

Ads

Minggu, 25 Maret 2018

Asmara Berdarah Jilid 174

Perhitungan Panglima Yang Ting Houw memang tepat sekali. Dia tidak tergesa-gesa mengerahkan pasukan pemerintah untuk menggempur pasukan pemberontak yang telah menduduki San-hai-koan dan Ceng-tek, melainkan memimpin balatentara ke utara secara diam-diam dan membiarkan pihak pemberontak bertempur melawan pasukan suku bangsa liar di utara.

Peristiwa penyerbuan Ceng-tek oleh pasukan suku bangsa di utara itu diikuti dengan gembira oleh Panglima Yang Ting Houw dan para perwira pembantunya, juga mereka melihat betapa San-hai-koan dikerahkan untuk menolong Ceng-tek.

Inilah saat yang ditunggu-tunggu oleh Panglima Yang itu. Pasukannya sudah berkumpul dan kini pasukan yang besar jumlahnya itu dia bagi dua, yang sebagian menyerbu San-hai-koan dan sebagian lagi menyerang pasukan pemberontak yang sedang berusaha merebut kembali Ceng-tek itu dari belakang, setelah membiarkan pasukan pemberontak itu mati-matian bertempur melawan pasukan utara yang telah menduduki Ceng-tek.

Dan dalam penyerbuan ke San-hai-koan ini, pasukan pemerintah dibantu oleh orang-orang gagah yang datang menawarkan tenaganya dan yang diterima dengan gembira oleh Panglima Yang Ting Houw.

Sebelum pasukan pemerintah melakukan penyerbuan ke San-hai-koan, dua orang pendekar telah lebih dahulu memasuki kota benteng itu. Mereka adalah Cia Sun dan Siangkoan Ci Kang. Seperti kita ketahui, dua orang pendekar muda ini pergi ke San-hai-koan untuk mencari jejak Toan Hui Cu yang dilarikan ayah kandungnya sendiri, yaitu Pangeran Toan Jit Ong atau Si Raja Iblis.

Dengan ilmu kepandaian mereka yang tinggi, dua orang muda ini berhasil menyelundup memasuki kota benteng San-hai-koan dan mereka lalu berpencar, mencari jalan sendiri-sendiri setelah mereka berjanji bahwa sebuah kelenteng tua di sudut barat kota itu menjadi tempat pertemuan mereka.

"Jika menemukan sesuatu yang penting, kita harus saling berhubungan," kata Cia Sun sebelum mereka berpisah. "Dan di belakang kuil ini, tepat jam dua belas malam, kita dapat mengadakan pertemuan."

Mereka lalu berpisah dan menyelinap dengan cepat, menghilang ke dalam kegelapan malam. Ci Kang merasa bingung, bagaimana dia akan dapat bersembunyi di waktu siang, akan tetapi dia tidak kekurangan akal. Ketika dia melihat banyaknya orang berpakaian tentara yang ketika saling berpapasan di jalan tidak saling menegur seperti tidak saling mengenal, dia memperoleh akal.

Dia dapat menduga bahwa saking banyaknya jumlah perajurit, apalagi mengingat bahwa banyak pula orang-orang kaum sesat yang membantu pasukan pemberontak, tentu diantara mereka banyak yang tidak saling mengenal.

Dia mencari kesempatan baik dan ketika melihat seorang perajurit yang tubuhnya sebesar dia berjalan seorang diri di tempat yang agak sunyi, dia telah menotoknya dan perajurit itupun roboh pingsan tanpa sempat melihat siapa yang merobohkannya. Tentu saja kalau dia menghendaki, sekali pukul saja dia mampu membunuh perajurit itu. Akan tetapi, semenjak berguru kepada Ciu-sian Lo-kai, hatinya semakin mantap untuk tidak sembarangan melakukan kekerasan-kekerasan terutama sekali membunuh, seperti yang dilakukan oleh mendiang ayahnya dan para kaum sesat pada umumnya. Diapun tidak membunuh perajurit itu, melainkan hanya melucuti pakaiannya dan melemparkan tubuh yang pingsan itu ke balik semak-semak.

Setelah perajurit itu siuman kembali, tentu saja dia merasa heran dan ketakutan setengah mati. Dia tidak melihat siapa penyerangnya, tahu-tahu pingsan dan telanjang, hanya memakai pakaian dalam, terbaring di semak-semak. Maka diapun diam saja, merasa malu untuk bercerita kepada orang lain bahwa dia telah dibawa "siluman" dan hal ini menguntungkan Ci Kang yang tidak menarik perhatian atas kecurigaan orang lain.

Mudah bagi Ci Kang untuk berkeliaran di kota benteng itu, bahkan di siang haripun dia berani jalan-jalan. Kalau berpapasan dengan rombongan perajurit yang tidak mengenalnya, rombongan itu tidak menjadi curiga karena memang banyak perajurit yang tidak saling mengenal di tempat itu.

Demikianlah, ketika ketua Cin-ling-pai, Cia Kong Liang, dikepung dan dikeroyok oleh para perajurit, dengan mudah tanpa dicurigai siapapun juga, Ci Kang dapat menyelundup dan ikut pula mengeroyok. Dia mengikuti semua percakapan antara ketua Cin-ling-pai itu dengan Ji-ciangkun dan Raja Iblis, dan dia merasa bingung sekali. Kalau dia turun tangan menolong dengan kekerasan, walaupun ketua Cin-ling-pai itu lihai, namun dia tahu bahwa mereka berdua tidak akan mampu menghadapi pengeroyokan banyak perajurit.

Maka diapun cepat mempergunakan ilmu mengirim suara dari jauh untuk membisiki Cia Kong Liang agar menyerah saja karena dia maklum bahwa Raja Iblis tidak menghendaki ketua Cin-ling-pai itu dibunuh, melainkan hendak ditawan saja dan dijadikan sandera. Dan ketua Cin-ling-pai itupun menurut sehingga ditangkap dan dimasukkan dalam tahanan dan dijaga dengan ketat.

Karena Ci Kang dapat pula menyelundup ke dalam tempat penjagaan penjara, maka diapun pada malam hari itu berhasil menyelundupkan sehelai surat yang dilipat-lipat kecil dan dilemparkannya mengenai tangan ketua Cin-ling-pai yang kedua lengannya diborgol di depan.






Kong Liang memandang ke arah perajurit tinggi tegap itu dan tahulah dia bahwa perajurit itu pula yang berbisik kepadanya agar dia menyerah. Dia mengangguk perlahan sambil mengepal lipatan surat itu. Setelah dia dibiarkan sendiri dan memperoleh kesempatan, dia membuka lipatan surat itu yang hanya terisi beberapa huruf yang isinya memperkenalkan perajurit muda itu bernama Siangkoan Ci Kang murid Ciu-sian Lo-kai yang menentang Raja Iblis.

Dan surat itu mengatakan pula bahwa untuk sementara, penjara itu merupakan tempat yang aman bagi Cia Kong Liang dan ketua itu diminta untuk bersabar karena kalau sudah tiba saatnya yang baik, tentu Ci Kang akan membebaskannya.

Membaca surat ini, Kong Liang merasa girang dan berterima kasih sekali, juga kagum akan kecerdikan pemuda itu. Dia merasa setuju bahwa untuk sementara penjara ini memang merupakan tempat aman baginya. Andaikata dia melepaskan belenggu kaki tangannya sekalipun, agaknya akan sukarlah baginya untuk dapat lolos dari San-hai-koan yang terjaga kuat itu, apalagi di situ terdapat banyak sekali orang yang amat lihai.

Dia lalu menggunakan tenaga sin-kangnya untuk meremas sampai hancur kertas surat itu dan bersila dengan tenang, walaupun sukar baginya menekan kegelisahannya memikirkan keadaan isteri, ayah mertua, dan murid-muridnya yang masih berada di Ceng-tek.

Bagaimana dengan pengalaman Cia Sun? Pemuda ini seperti juga Ci Kang, mendapatkan akal untuk dapat melakukan penyelidikan dengan baik, yaitu menyamar sebagai seorang perajurit. Akan tetapi berbeda dengan Ci Kang, sesuai dengan gemblengan Go-bi San-jin, dia bertindak keras dan tanpa ampun kepada perajurit yang ditangkapnya untuk diambil pakaiannya.

Dia membunuh perajurit pemberontak itu dan mengenakan pakaiannya sendiri kepada mayat perajurit itu yang tewas tanpa terluka karena pukulan ampuhnya membuatnya tewas seketika tanpa luka. Orang yang menemukan perajurit itu tentu akan mengira bahwa perajurit yang berpakaian preman itu mati karena penyakit mendadak!

Pada suatu malam, ketika Cia Sun sedang berjalan-jalan dengan aman dalam pakaian perajurit pengawal, dia melihat Raja Iblis berjalan diikuti oleh empat orang bertubuh tegap dan berpakaian seragam, akan tetapi bukan seragam perajurit.

Cia Sun yang maklum akan lihainya Raja Iblis, tidak berani sembarangan bergerak, bahkan membayanginya dengan hati-hati, dan berjalan sebagai seorang perajurit yang sedang bertugas ronda. Untung baginya bahwa Raja Iblis dan empat orang pengikutnya itu tidak begitu memperhatikannya, atau mungkin juga melihatnya dan tidak curiga karena memang banyak perajurit berkeliaran di dekat bangunan besar itu.

Ketika Raja Iblis dan empat orang itu memasuki sebuah pintu tembusan kecil di samping bangunan, terpaksa Cia Sun tidak berani mengikutinya lagi, apa pula di depan pintu kecil itu terdapat dua orang penjaga yang memegang tombak. Sebuah pintu tembusan saja dijaga, tentu tempat itu merupakan gedung yang penting pula.

Akan tetapi dia merasa penasaran. Dia harus dapat menyelidiki apa yang dilakukan oleh Raja Iblis di dalam gedung itu. Siapa tahu Hui Cu yang dilarikan bekas pangeran itupun kini berada disitu. Cia Sun lalu mengambil keputusan nekat. Dengan gerakan yang amat cepat dia menerjang dua orang penjaga itu secepat kilat dari tempat gelap dan dua kali tangannya bergerak, dua orang penjaga pintu kecil itu roboh dan tewas tanpa dapat mengeluarkan suara sedikitpun juga.

Cia Sun lalu memanggul tubuh dua orang penjaga yang sudah tidak bernyawa itu berikut tombak mereka, dan di belakang sebuah rumah yang sunyi, dia melemparkan mereka ke atas tanah, lalu mengatur mereka sedemikian rupa sehingga mereka itu seolah-olah tewas karena saling tusuk dengan tombak yang masih dipegang di tangan.

Kalau ada yang menemukan dua orang penjaga ini, tentu mereka akan mengira bahwa dua orang perajurit ini telah berkelahi dan mati sampyuh terkena tombak masing-masing.

Setelah itu, dengan berani Cia Sun menyelinap masuk ke dalam pintu kecil yang ternyata membawa dia ke dalam sebuah taman yang luas. Untung bahwa taman itu penuh dengan pohon-pohon bunga yang rimbun sehingga dia dapat menyelinap diantara pohon-pohon dan semak-semak mendekati sebuah bangunan besar yang gelap.

Giranglah hatinya ketika tiba-tiba dia melihat Raja Iblis dan empat orang pengikutnya tadi keluar dari dalam bangunan besar dan kini dengan langkah lebar menuju ke sebuah bangunan kecil di belakang taman. Raja Iblis membuka daun pintu, diikuti oleh empat orang tadi dan mereka berlima masuk ke dalam.

Cia Sun cepat mengintai dari balik sebuah jendela samping. Karena tidak terdapat lubang di jendela itu, terpaksa dia hanya mampu mendengarkan, akan tetapi tidak dapat melihat apa yang terjadi di sebelah dalam. Akan tetapi, apa yang didengarnya sudah cukup baginya, membuat jantungnya berdebar keras karena dia mengenal suara seorang gadis, suara Hui Cu yang menyambut kedatangan ayah kandungnya itu dengan kata-kata yang ketus.

"Iblis tua, mau apalagi engkau datang kesini?" terdengar suara Hui Cu menyambut Raja Iblis dengan kata-kata pedas.

Kini terdengar suara Raja Iblis yang suaranya aneh seperti datang dari tempat jauh, akan tetapi suara itu menggetar penuh wibawa dan menembus dinding bangunan kecil itu.

"Hui Cu, aku datang untuk memperingatkanmu yang penghabisan kalinya. Tinggal kau pilih, mau menjadi isteriku atau menjadi anakku. Kalau menjadi isteriku, engkau akan hidup senang di sampingku, apalagi kalau dapat menurunkan anak laki-laki untukku. Kalau menjadi anakku, aku akan membunuhmu dengan tanganku sendiri. Dan besok malam engkau harus sudah dapat memberi kepastian, mau hidup senang sebagai isteriku atau mati!"

"Iblis tua tak tahu malu! Aku tidak sudi menjadi isterimu, juga tidak sudi menjadi anakmu! Mau bunuh, bunuhlah."

Diam-diam Cia Sun kagum kepada Hui Cu. Biarpun Hui Cu puteri tunggal pasangan suami isteri iblis seperti Raja dan Ratu Iblis, akan tetapi ternyata Hui Cu memiliki semangat dan watak yang gagah perkasa, bahkan berani menantang ayahnya, walaupun ia tahu bahwa ayahnya itu adalah manusia berwatak iblis. Di samping kekagumannya, juga Cia Sun merasa khawatir sekali. Kalau Raja Iblis turun tangan sekarang juga membunuh puterinya, dia sendiri jelas tidak mungkin akan dapat menolong Hui Cu.

Akan tetapi hatinya merasa lega karena tidak terjadi gerakan sesuatu di dalam pondok itu, bahkan kini nampak Raja Iblis keluar dari situ bersama empat orang pengikutnya dan bekas pangeran itu berkata,

"Su-kwi, kalian harus menjaganya mulai sekarang sampai besok malam. Jangan sampai ia lolos dan andaikata ibunya sendiri yang datang untuk membebaskannya, kalian harus melarangnya. Hanya kalian berempat yang akan mampu menandingi ibunya. Awas, kalau sampai ia lolos dari sini, kepala kalian menjadi gantinya."

Empat orang itu bersikap siap dan mengangguk, kemudian mereka tinggal di ruang depan bangunan kecil itu ketika Raja Iblis pergi dengan langkah lebar dan cepat.

Sejenak Cia Sun termangu-mangu. Menurutkan dorongan hatinya, ingin dia menerjang ke dalam pondok itu untuk membebaskan Hui Cu. Akan tetapi, dia ragu-ragu. Baru saja dia mendengar sendiri ucapan Raja Iblis bahwa hanya empat orang itu saja yang akan mampu menandingi Ratu Iblis! Padahal Ratu Iblis memiliki kepandaian yang amat tinggi. Dan empat orang ini disebut Su-kwi (Empat Setan) oleh Raja Ibils, maka teringatlah Cia Sun akan keterangan gurunya, Go-bi San-jin bahwa diantara Cap-sha-kui (Tiga Belas Setan) terdapat empat orang yang lihai sekali berjuluk Hui-thian Su-kwi (Empat Setan Terbang ke Langit)!

Agaknya empat orang Inilah mereka. Maka dia ragu-ragu apakah dia akan mampu mengalahkan empat orang ini. Andaikata mampu sekalipun, tentu akan memakan waktu dan keributan itu tentu akan diketahui oleh pengawal-pengawal lain dan kalau sudah begitu, dia akan celaka sebelum mampu membebaskan Hui Cu. Maka diapun diam-diam meninggalkan pondok itu. Raja Iblis memberi waktu cukup panjang kepada Hui Cu. Sampai besok malam. Berarti malam ini ia tidak akan diganggu. Dan kalau dia maju bersama Ci Kang, agaknya tidak akan sukar menolong Hui Cu.

Menjelang tengah malam, dua orang pemuda yang gagah perkasa itu saling bertemu di kuil sunyi. Mereka berbisik-bisik saling menceritakan pengalaman mereka masing-masing.

Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: