*

*

Ads

Kamis, 22 Maret 2018

Asmara Berdarah Jilid 164

Bagaimana dengan Cia Hui Song? Pemuda ini merasa marah dan mendongkol sekali ketika dalam keadaan tertotok dan tidak berdaya, dia melihat empat orang isteri sahabatnya memasuki kamarnya itu dalam keadaan hampir telanjang bulat. Dia melihat betapa wajah mereka pucat, rambut mereka kusut dan pandang mata penuh takut dan duka.

Dia tahu bahwa mereka itu ketakutan dan menangis ketika mereka memeluknya seperti hendak minta perlindungan, bahwa mereka itu dipaksa oleh Sim Thian Bu untuk merayunya. Dia tidak marah kepada wanita-wanita ini melainkan merasa kasihan, akan tetapi apa yang dapat dilakukannya? Dia tidak berdaya sama sekali.

Untung baginya, hanya sebentar saja wanita-wanita itu disuruh merayu atau menemaninya. Dan dia melihat wajah orang Mancu itu ketika pintu dibuka, melihat betapa orang Mancu tua itu terbelalak lalu menyumpah dan pintu ditutup lagi. Agaknya hanya untuk keperluan memperlihatkan adegan itu kepada orang Mancu tadilah maka empat orang wanita itu disuruh naik tempat tidurnya. Tak lama kemudian mereka disuruh keluar lagi, entah dibawa kemana oleh Thian Bu.

Pada keesokan harinya, Sim Thian Bu muncul pula di dalam kamarnya. Totokan pada tubuhnya sudah bebas, akan tetapi malam tadi Thian Bu mengikat tangannya dengan tali sutera yang amat kuat sehingga percuma saja ketika Hui Song berusaha melepaskan diri dengan cara menariknya putus.

"Aha, Cia-taihiap. Engkau nampak segar pagi ini. Bagaimana, apakah usulku semalam sudah kau pertimbangkan?"

"Aku tidak sudi bersekutu dengan pemberontak. Biar akan kau bunuh sekalipun, aku tidak perduli. Akan tetapi ingat, kalau aku sampai dapat lolos dari sini, aku akan mengejar dan mencarimu, dan akan kupaksa engkau bertanding sampai mampus!"

"Aih, mengapa galak amat? Bukankah aku telah memperlakukanmu dengan amat baik? Bahkan telah kusuguhkan wanita-wanita cantik. Sayang engkau yang bodoh tidak mau menerimanya. Cia-taihitip, ketahuilah bahwa aku bersikap baik kepadamu bukan tanpa sebab. Tahukah engkau bahwa ayah ibumu, juga kakekmu, kini telah berada bersama kami dan bekerja sama dengan kami, bahkan ayahmu kini mengepalai pasukan keamanan di Ceng-tek?"

"Bohong! Siapa sudi percaya omongan busukmu?" bentak Hui Song. "Sim Thian Bu, aku tidak tahu mengapa engkau memusuhiku, akan tetapi yang jelas engkau adalah tokoh pemberontak rendah. Jangan mencoba-coba untuk membujukku. Perbuatanmu semalam dengan memaksa empat orang isteri Lam-nong dalam keadaan tak tahu malu itu kesini saja sudah melampaui batas dan untuk itu, mau rasanya aku membunuhmu sampai tujuh kali! Sekarang, kau apakan mereka itu?"

"Ha-ha-ha, karena mereka tidak berhasil membujukmu, mereka kuhadiahkan kepada orang-orangku dan kau dapat membayangkan apa jadinya kalau empat orang wanita itu harus melayani ratusan orang perajurit..."

"Jahanam keparat kau!"

Hui Song membentak dan wajahnya berobah merah sekali, hatinya perih membayangkan nasib para isteri Lam-nong.

Sim Thian Bu sama sekali tidak tahu bahwa semua percakapannya dengan Hui Song itu ada yang mendengarkan. Seorang laki-laki yang berpakaian seragam perajurit berdiri di luar kamar itu, dengan sikap bertugas jaga, akan tetapi sebenarnya dia sedang mendengarkan dengan teliti apa yang sedang dibicarakan di dalam kamar. Perajurit ini bertubuh tinggi tegap dan memiliki sepasang mata yang mencorong tajam.

Perajurit ini adalah Siangkoan Ci Kang! Seperti telah kita ketahui, Ci Kang terancam bahaya maut di tangan Raja Iblis Pangeran Toan Jit Ong, akan tetapi secara kebetulan dan tiba-tiba muncul Pendekar Sadis dan isterinya yang menyelamatkannya dan setelah dia memberi tahu kepada mereka tentang Sui Cin, suami isteri yang sakti itu lalu meninggalkannya untuk mencari puteri mereka.

Setelah berpisah dari suami isteri yang sakti itu, yang membuat Ci Kang merasa semakin nelangsa karena mereka itu adalah ayah bunda Sui Cin yang dicintanya, membuat dia merasa semakin kecil dan rendah, pemuda ini lalu mengambil keputusan untuk mencari Raja Iblis yang melarikan Hui Cu.

Dia harus dapat menyelamatkan gadis itu dari tangan ayah kandungnya sendiri yang jahatnya melebihi iblis. Gadis itu sudah dua kali menyelamatkannya, pertama kali ketika dia bersama Cia Sun terjeblos ke dalam guha bawah tanah dan kedua kalinya ketika dia hampir celaka di tangan murid Raja Iblis, Gui Siang Hwa. Sekarang, dia tahu bahwa gadis itu berada dalam cengkeraman iblis yang membahayakan keselamatannya, maka dia harus berusaha untuk menolongnya, biarpun untuk itu keselamatan nyawanya sendiri akan terancam.

Dalam perjalanannya mencari Hui Cu inilah secara kebetulan Ci Kang di dusun itu. Dia hanya melihat bekas-bekas kejahatan pasukan pemberontak yang dipimpin Sim Thian Bu itu, yang telah membasmi puluhan orang anak buah suku Mancu Timur di bawah pimpinan Lam-nong.






Hatinya menjadi panas oleh kemarahan ketika dia mendengar dari penyelidikannya betapa sutenya itu telah sedemikian jahatnya membunuhi orang-orang yang tidak berdosa, bahkan menganiaya dan memperkosa wanita-wanitanya. Akan tetapi kedatangannya terlambat dan dia tidak sempat lagi mencegah perbuatan sutenya. Pula, Ci Kang tidaklah begitu bodoh untuk langsung menemui Thian Bu dan menegurnya. Bagaimanapun juga, jalan hidup antara mereka telah terpisah, mereka telah bersimpang jalan, bahkan saling menentang.

Sutenya itu, setelah kini memimpin ratusan orang perajurit, mana mungkin mau mentaatinya? Tentu tidak takut kepadanya dan dia akan dianggap musuh dan dikeroyok. Karena itulah, Ci Kang diam-diam lalu menculik seorang perajurit yang perawakannya seperti dia, membawa perajurit itu ke dalam sebuah hutan yang cukup jauh, mengikat kaki tangannya setelah melucuti pakaiannya, dan dengan berpakaian perajurit dia kembali ke dalam dusun.

Dengan mudah dia menyelinap diantara perajurit yang seribu orang banyaknya itu dan dia berhasil masuk ke dalam pondok dimana Sim Thian Bu sedang mengunjungi Hui Song yang tertawan. Dengan muka geram dia mendengarkan semua percakapan itu dan tahulah dia bahwa pendekar putera ketua Cin-ling-pai itu sedang dibujuk oleh sutenya untuk membantu pemberontak.

Sutenya, Sim Thian Bu, telah membantu Raja Iblis. Padahal, ayahnya, Siangkoan Lo-jin, guru sutenya itu tewas di tangan Raja Iblis. Sungguh seorang murid murtad. Dia sendiri memang tidak mendendam atas kematian ayahnya yang dianggapnya tewas karena ulah sendiri, akan tetapi dia tidak akan sudi diperalat oleh pemberontak. Dan biarpun Hui Song pernah memperlihatkan sikap bermusuh dengannya, ketika dia muncul di bekas benteng Jeng-hwa-pang dan ketika dia berada dalam kamar bersama Sui Cin, namun dia tahu bahwa pemuda itu adalah seorang pendekar sejati.

Diapun sudah mendengar tentang ketua Cin-ling-pai yang membantu gerakan para pemberontak, maka diam-diam dia merasa kasihan kepada Hui Song. Sedikit banyak ada persamaan antara dia dan pemuda ini. Biarpun ayah pemuda ini seorang pendekar besar, ketua Cin-ling-pai, akan tetapi sekarang menyeleweng dan membantu pemberontak, padahal puteranya mati-matian menentang pemberontak dan lebih memilih mati daripada harus menjadi kaki tangan pemberontak seperti yang diperlihatkan ketika dibujuk oleh Sim Thian Bu itu. Dan agaknya Hui Song belum tahu akan penyelewengan ayahnya.

"Hui Song, engkau sungguh orang yang tidak tahu akan kebaikan orang!" Akhirnya Sim Thian Bu menjadi marah dan tidak menyebutnya taihiap lagi. "Melihat muka orang tuamu yang kini menjadi rekanku, aku bersikap baik kepadamu dan tidak membunuhmu walaupun engkau telah membantu suku bangsa liar. Bahkan aku telah menyuguhkan empat orang wanita tawanan untuk menghiburmu, akan tetapi engkau menolak. Baiklah, agaknya engkau baru akan mau percaya kalau sudah kubawa ke Ceng-tek dan bertemu dengan ayah ibumu." Dia mendengus marah. "Karena engkau masih tidak mau tunduk, terpaksa harus kubelenggu terus sampai ke Ceng-tek. Hari ini juga kita berangkat ke sana!"

Dengan uring-uringan Thian Bu meninggalkan Hui Song dalam kamar itu. Tadinya dia berniat untuk membujuk Hui Song agar dapat membantu dan ikut dengannya secara suka rela agar dia dapat berbangga memamerkan jasanya di Ceng-tek. Tak disangkanya Hui Song demikian keras hati sehingga terpaksa dia akan membawanya sebagai tawanan, hal yang amat tidak enak terhadap ketua Cin-ling-pai.

"Jaga dia, awasi terus jangan sampai dia dapat meloloskan diri!" perintah Sim Thian Bu kepada dua orang pengawal yang berada di luar pintu kamar.

Dua orang pengawal itu mengangguk dan masuk ke dalam kamar, berdiri dekat pembaringan dengan tombak di tangan.

Akan tetapi, tidak lama kemudian setelah Sim Thian Bu meninggalkan kamar itu, sesosok bayangan berkelebat masuk ke dalam kamar itu. Hui Song yang masih rebah tak mampu berkutik itu melihat betapa dengan gerakan yang amat ringan, bayangan ini menyergap ke arah dua orang penjaga yang tidak sempat berteriak atau mempertahankan diri. Dua kali totokan membuat mereka itu roboh pingsan. Dengan cekatan Ci Kang, bayangan itu, menyambar dua batang tombak agar tidak mengeluarkan bunyi keras ketika terbanting ke atas lantai.

Hui Song terbelalak ketika mengenal siapa adanya perajurit tinggi tegap yang merobohkan dua orang pengawal itu.

"Hemmm...kau...?" gumamnya, sama sekali tidak girang melihat kedatangan penolong ini, bahkan matanya mengandung sinar kemarahan. Andaikata dia tidak dalam keadaan terbelenggu, tentu dia sudah bergerak menerjang Ci Kang!

Ci Kang dapat melihat kebencian terpancar dari mata putera ketua Cin-ling-pai itu dan diapun maklum.

"Sobat Cia Hui Song, sebaiknya engkau tahan kemarahanmu dan kita simpan dulu urusan pribadi. Yang jelas engkau tertawan..."

"Benar, dan yang menawan adalah murid ayahmu!" Hui Song mengejek.

"Simpan ejekanmu itu, sobat! Biarpun dia suteku, akan tetapi jalan hidup kami tidak sejalur. Biarpun mendiang ayahku seorang datuk sesat, akan tetapi tak dapat kau samakan aku dengan mereka, seperti juga berbedanya jalur hidupmu dengan ayahmu yang kini mengabdi kepada pemberontak..."

"Tutup mulut! Kalian pembohong...!" Hui Song membentak.

"Sstttt kita tunda dulu perselisihan ini. Yang penting kita harus dapat lari dari tempat ini," berkata demikian Ci Kang cepat melepaskan ikatan kaki tangan Hui Song.

Biarpun bekas ikatan pada kaki dan tangan itu masih membuat kaki tangannya terasa kesemutan dan setengah lumpuh, namun Hui Song memaksa diri meloncat turun dari pembaringan dan langsung dia menyerang Ci Kang!

"Jahanam busuk, aku harus membunuhmu untuk membalaskan penghinaanmu terhadap Sui Cin!"

Serangan Hui Song tentu saja hebat sekali dan Ci Kang yang sudah mengenal kelihaian lawan ini cepat mengelak.

"Sabar dulu, sobat. Masih banyak waktu dan kesempatan bagi kita untuk bertanding. Sekarang yang penting kita harus meloloskan diri dari dusun ini!"

Ci Kang berseru, akan tetapi semua seruannya percuma saja karena Hui Song yang sudah marah sekali teringat akan perbuatan pemuda ini memeluk dan mencium Sui Cin, sudah menerjang lagi kalang kabut.

Tentu saja Ci Kang menjadi bingung sekali dan sikap Hui Song ini membuat dia naik darah juga, maka setelah mengelak dan menangkis, diapun mulai balas menyerang! Terjadilah perkelahian yang amat hebat di dalam kamar itu dan tentu saja, hal ini menarik perhatian para pengawal yang cepat datang melihat.

Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati mereka melihat tawanan itu telah bebas dan kini sedang berkelahi melawan seorang rekan perajurit sedangkan dua orang perajurit pengawal sudah roboh tak bergerak di atas lantai. Melihat ini, para perajurit itu yang mengira bahwa Ci Kang adalah seorang diantara kawan mereka cepat menerjang dan membantu Ci Kang sehingga Hui Song kini dikeroyok!

Pemuda yang sudah mempunyai perasaan benci terhadap Ci Kang ini, rasa benci yang bukan hanya karena Ci Kang putera datuk sesat Iblis Buta, akan tetapi terutama sekali karena rasa cemburu yang hebat, kini menjadi semakin marah dan semakin yakin bahwa Ci Kang tentu bekerja sama dengan sutenya, Sim Thian Bu yang licik itu.

"Huh, Siangkoan Ci Kang, majulah bersama semua antekmu! Aku tidak takut!"

Dan diapun mengamuk merobohkan empat orang perajurit dengan sekali serang! Pada saat itu, Sim Thian Bu yang diberi tahu oleh anak buahnya datang dan diapun terkejut bukan main ketika mengenal perajurit tinggi tegap itu yang ternyata adalah Siangkoan Ci Kang!

Sebaliknya, melihat Sim Thian Bu, Ci Kang juga marah sekali. Kalau tadi ketika dia mendengar Thian Bu membujuk Hui Song dia masih mempertahankan kemarahannya karena perlu membebaskan Hui Song lebih dulu, kini setelah ketahuan dan dikeroyok, kemarahannya terhadap sutenya itu makin berkobar.

Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: