*

*

Ads

Kamis, 22 Maret 2018

Asmara Berdarah Jilid 161

Dengan suara lemah Hui Song berkata, akan tetapi Thian Bu hanya tertawa saja, tertawa dengan sikap mengejek. Setelah memerintahkan seregu pasukan pengawal untuk berjaga dengan ketat di luar kamar, dia lalu meninggalkan Hui Song.

Hanya Lam-nong seorang yang dapat lolos dari serbuan para perajurit pemberontak itu. Belasan orang wanita ditawan dan semua laki-laki dibunuh dengan kejam! Thian Bu sendiri lalu mendatangi para tawanan wanita yang bersimpuh di atas lantai sambil menangis.

Diantara para selir dan para pelayan itu, dia memilih empat orang selir Lam-nong yang paling muda dan paling cantik, kemudian dia membawa empat orang wanita tawanan ini ke dalam bekas kamar Lam-nong. Empat orang wanita itu menangis dan menjatuhkan diri berlutut di lantai kamar itu ketika Thian Bu membawa mereka masuk dan menutupkan pintunya.

"Ha-ha, nona-nona manis. Sekarang akulah yang menjadi suamimu, pengganti Lam-nong. Lihat, aku tidak kalah ganteng dan gagah dibandingkan dengan dia, bukan?"

Dia menyeringai dan membuka kancing bajunya, memperlihatkan dadanya yang bidang. Pria cabul ini memang berwajah tampan, berpakaian mewah dan bertubuh tegap. Memang dia memiliki daya tarik yang kuat bagi wanita. Akan tetapi, empat orang selir itu yang masih ketakutan dan berduka karena malapetaka yang menimpa suami dan keluarga mereka, tentu saja tidak tertarik oleh gayanya ini dan mereka hanya berlutut di lantai, menundukkan muka dan menangis.

Melihat mereka itu menangis, Thian Bu mengerutkan alisnya yang tebal, hatinya merasa jengkel sekali.

"Sudah, jangan menangis!" bentaknya. "Kalian kuajak kesini bukan untuk bertangis-tangisan, melainkan untuk bersenang-senang!"

Akan tetapi tiba-tiba terdengar jeritan-jeritan wanita. Mendengar ini, empat orang wanita itupun menjadi ketakutan dan menangis semakin keras. Mereka mengenal suara jerit tangis itu sebagai suara tangis wanita-wanita yang tadi tidak terpilih oleh Thian Bu.

Belasan orang wanita, yaitu selir-selir Lam-nong dan para pelayan, oleh Thian Bu dihadiahkan kepada para pembantunya yang terdiri dari belasan orang perwira. Tentu saja orang-orang kasar ini segera berebutan dan sebentar saja wanita-wanita itu ditarik dan dibetot sana-sini dan dipondong, dibawa ke tempat-tempat terpisah oleh orang-orang itu dan merekapun menjerit-jerit dan menangis.

Mendengar jerit tangis itu, Thian Bu menyeringai.
"Nah, dengar itu. Mereka terpaksa harus melayani para perajurit itu dan mengingat jumlah para perajurit, tentu mereka akan hancur dan mati sebelum semua orang kebagian. Apakah kalian ingin kulemparkan kepada para perajurit itu?"

Empat orang wanita itu mengangkat muka dan mata mereka terbelalak memandang kepada Thian Bu. Muka mereka pucat dan mereka menggeleng-geleng kepala, merasa ngeri membayangkan betapa mereka akan menjadi rebutan para perajurit yang kasar itu, seperti seekor kelinci dijadikan rebutan ratusan ekor harimau. Mereka tentu akan dicabik-cabik sampai tubuh mereka hancur binasa!

"Tidak... tidak... jangan...!" teriak mereka memohon.

Thian Bu tersenyum.
"Jadi kalian memilih untuk melayani aku daripada para perajurit itu? Nah, kalau begitu, hentikan tangis kalian dan bersikaplah manis!"

Saking takutnya kalau-kalau mereka dilemparkan kepada para perajurit yang buas seperti segerombolan anjing serigala itu, empat orang wanita ini lalu memaksakan diri menghentikan tangis mereka.

Sim Thian Bu menjadi girang sekali dan mulailah dia membelai dan mempermainkan mereka. Biarpun hati mereka terasa hancur, empat orang itu terpaksa mandah saja dipermainkan sesuka hati oleh Sim Thian Bu. Pria ini memang ganteng dan banyak pengalamannya dengan wanita. Maka tidaklah mengherankan kalau empat orang wanita yang tadinya menangis sedih itu, akhirnya menyerahkan diri dengan pasrah, bahkan mulai timbul kegembiraan mereka melayani pria yang ganteng dan pandai mengambil hati itu.

Ada seorang tawanan lain yang bukan wanita. Seorang kakek yang terluka pundaknya. Oleh Thian Bu, kakek ini tidak boleh dibunuh, bahkan diobati lukanya. Pada keesokan harinya, Thian Bu membawa kakek ini ke sebuah kamar, lalu dia berkata,

"Lihat baik-baik, dan laporkan kepada Lam-nong agar lain kali dia berhati-hati memilih kawan. Kepercayaannya kepada Cia Hui Song menghancurkan dia. Ayah pemuda itu, ketua Cin-ling-pai, adalah seorang tokoh diantara pasukan kami yang sedang berjuang. Lihat, kini dia bersenang-senang dengan kami!"






Setelah berkata demikian, Thian Bu membuka daun pintu kamar itu dan membiarkan kakek Mancu menjenguk ke dalam. Setelah melihat ke dalam, kakek itu terbelalak dan mulutnya mengeluarkan makian.

Apakah yang dilihatnya? Cia Hui Song, pemuda yang selama ini dianggap sebagai sahabat baik Lam-nong, yang telah disambut sebagai tamu kehormatan oleh kepala sukunya itu, kini nampak rebah di atas pembaringan dengan pakaian setengah telanjang dan empat orang wanita cantik yang hampir tidak berpakaian sama sekali malang melintang rebah di sisi dan di atas tubuh pendekar itu, bahkan ada yang merangkulnya! Melihat ini, tentu saja kakek itu menjadi marah karena empat orang wanita itu adalah selir-selir kepala sukunya!

"Nah, kau sudah melihat jelas? Kakek, sekarang engkau boleh pergi, cari Lam-nong dan laporkan semua yang kau lihat," kata Thian Bu sambil menutupkan lagi daun pintu kamar itu.

"Akan tetapi... kenapa... kenapa engkau membebaskan aku sedangkan semua kawanku telah dibunuh?"

"Kakek, bersyukurlah kepada para dewa bahwa wajahmu mirip sekali dengan mendiang ayahku. Itulah sebabnya mengapa aku tidak membolehkan anak buahku membunuhmu. Nah, pergilah cepat!" katanya dan kakek itupun tanpa banyak cakap lagi lalu pergi meninggalkan dusun itu.

Apakah yang telah terjadi? Mengapa empat orang wanita itu kini berada di atas pembaringan bersama Hui Song? Ini adalah akal Thian Bu yang memang licik sekali. Setelah puas bermain-main dengan empat orang wanita itu semalam suntuk, dia lalu menyuruh mereka memasuki kamar dimana Hui Song rebah tak berdaya.

"Sekarang kalian bantulah aku. Kalian tentu mengenal Cia Hui Song sahabat suami kalian itu, bukan? Nah, kalau kalian tidak ingin kuserahkan kepada para perajurit, kalian berempat sekarang harus melayani dia! Rayulah dia agar suka bermain-main dengan kalian dan kalian boleh tidur di atas pembaringannya melepaskan lelah."

Empat orang wanita yang kelelahan itu lalu digiring ke dalam kamar dimana Hui Song nampak rebah di atas pembaringan seorang diri. Empat orang wanita itu dalam keadaan setengah atas hampir telanjang sama sekali, menghampiri pembaringan.

Melihat Hui Song yang mereka suka dan yang menjadi kepercayaan suami mereka, mereka merasa seperti bertemu dengan seorang sahabat baik, apalagi mengingat akan kelihaian Hui Song, mungkin mereka dapat mengharapkan pertolongannya. Maka tanpa diperintah lagi mereka lalu lari dan menubruk pemuda itu.

Akan tetapi, pemuda itu hanya dapat bergerak dengan lemah saja. Di dalam hatinya, Hui Song terkejut setengah mati. Tidak disangkanya bahwa ucapan Thian Bu tadi dibuktikannya, yaitu bahwa Thian Bu hendak menyenangkan hatinya, bahkan dengan cara yang membuat darahnya tersirap. Dia menjadi rikuh dan malu sekali melihat betapa empat orang selir-selir Lam-nong yang paling cantik menghampirinya dengan pakaian hampir telanjang, apalagi ketika mereka menubruk dan merangkulnya.

Akan tetapi dia tidak dapat menggerakkan kaki tangan untuk menolak atau mengelak. Dia diam saja dan membiarkan mereka menangis di pundaknya, di dadanya dan mungkin terpengaruh oleh rayuan-rayuan Thian Bu tadi, dan teringat akan ancaman Thian Bu, mereka bahkan mulai membelai tubuh Hui Song!

"Pergilah... jangan ganggu aku...!" kata Hui Song lemah akan tetapi empat orang wanita itu tidak menghentikan usaha mereka.

Dalam keadaan seperti itulah tadi kakek Mancu dibawa oleh Thian Bu untuk melihat ke dalam kamar. Tentu saja dia merasa terkejut dan marah. Sama sekali tidak disangkanya bahwa pemuda yang diterima dengan ramah dan baik oleh Lam-nong itu, yang dianggap sebagai seorang sahabat suku bangsanya hanya untuk menjadi mata-mata, dan setelah terjadi penyerbuan, berbalik malah menjadi musuh dan melakukan hal-hal yang amat tidak patut, yaitu menjinai isteri-isteri kepala sukunya.

Kakek Mancu itu tahu bahwa kepala sukunya, Lam-nong, berhasil menyelamatkan dirinya, dan dia tahu pula dimana kepala suku itu menyembunyikan diri, karena pernah mereka melewati sebuah hutan sebelum tiba di dusun itu dan Lam-nong pernah mengatakan bahwa hutan itu merupakan tempat yang amat baik untuk menyembunyikan pasukan kalau kelak terjadi perang di tempat itu.

Maka diapun lalu memasuki hutan itu dan menyusup-nyusup, mencari-cari dan memanggil-manggil. Akan tetapi baru dua hari kemudian panggilannya terjawab dan muncullah Lam-nong dari balik semak-semak belukar.

Melihat pemimpinnya berada dalam keadaan compang-camping itu, kakek Mancu lalu menjatuhkan diri berlutut dan menangis! Lam-nong merangkul satu-satunya anak buah yang masih hidup ini dan dapat dibayangkan betapa marah hatinya mendengar laporan orang itu bahwa seluruh anak buahnya dalam rombongannya telah habis dan tewas semua, dan betapa isteri-isterinya telah menjadi korban perkosaan, dan terutama sekali betapa Cia Hui Song ternyata adalah seorang tokoh pemberontak dan juga ikut pula menjinai empat orang isterinya yang paling disayangnya!

"Mustahil!" Dia membentak. "Cia-taihiap adalah seorang sahabat dan dia pula yang telah menyelamatkan aku sampai kesini!"

"Saya melihat sendiri dia dan empat orang isteri paduka dalam sebuah kamar, dalam keadaan yang amat tidak sopan dan memalukan. Saya berani bersumpah!" kata kakek itu.

Lam-nong mengerutkan alisnya dan hatinya mulai terasa panas.
"Akan tetapi... kenapa dia bersikap begitu baik ketika menjadi tamu kita, dan dia sama sekali tidak pernah bersikap kurang ajar atau menggoda isteri-isteriku. Kenapa sikapnya berbalik secara mendadak seperti itu dan kenapa pula dia menyelamatkan aku kalau memang dia itu berpihak kepada musuh?"

"Dia tentu bertindak sebagai mata-mata ketika menjadi tamu kita, dan dia sengaja menyelamatkan paduka hanya untuk menutupi niatnya yang busuk terhadap isteri-isteri paduka. Bagaimanapun juga, sepasang mata saya tidak dapat ditipu dan saya melihatnya sendiri."

Lalu kakek Mancu ini menceritakan kembali dengan penggambaran yang lebih jelas apa yang dilihatnya di dalam kamar itu, betapa dalam keadaan setengah telanjang Hui Song dipeluki oleh empat orang isteri Lam-nong yang telanjang bulat.

Mendengar penggambaran itu, hati Lam-nong menjadi semakin panas. Dia sudah terpukul sekali mendengar akan terbasminya seluruh anak buahnya, dan kini mendengar akan perbuatan Hui Song terhadap empat orang isterinya yang tercinta, dia mengepal tinju dan mukanya menjadi merah. Hui Song berjanji akan menyelamatkan seorang selirnya yang paling dicinta, siapa tahu pemuda itu malah menjinai selirnya itu dengan selir-selir lain pula.

"Keparat jahanam Cia Hui Song!" dia mengutuk, akan tetapi Lam-nong lalu menutupi mukanya dengan kedua tangannya. "Kasihan isteri-isteriku yang malang..." dan diapun menangis!

Kakek Mancu itu menjadi terharu sekali melihat pemimpinnya menangis dan diapun teringat akan dua orang anaknya yang menjadi anggota rombongan dan tewas pula, maka tak dapat ditahannya, diapun kini menangis. Dua orang laki-laki itu menangis di dalam hutan yang lebat dan sunyi, dengan hati dilanda duka yang hebat.

Dan memang sepatutnya Lam-nong menangisi isteri-isterinya karena nasib wanita-wanita itu memang menyedihkan. Sim Thian Bu adalah seorang laki-laki cabul yang berhati kejam bukan main. Dia tidak pernah merasa puas dengan wanita tertentu dan menganggap wanita seperti makanan atau pakaian saja. Kalau sudah kenyang dimakannya, maka sisanya akan diberikan kepada anjing dan kalau sudah bosan memakainya, bekasnya akan dicampakkan begitu saja.

Demikian pula setelah dia merasa kenyang dan bosan terhadap empat orang wanita itu, untuk menyenangkan hati anak buahnya, Thian Bu lalu menghadiahkan empat orang tawanan itu kepada anak buahnya.

Empat orang wanita yang sejak dahulu hidup berbahagia di samping Lam-nong kini mengalami nasib yang mengerikan. Mereka itu diperebutkan dan dipermainkan banyak orang kasar sampai akhirnya mereka tidak tahan dan tewas menyusul teman-temannya yang sudah mendahului mereka!

Akan tetapi mengapakah Thian Bu memperlakukan Hui Song seperti itu? Mengapa dia membiarkan kakek Mancu lolos setelah memberinya kesempatan melihat seolah-olah Hui Song sedang berjina dengan empat orang selir Lam-nong? Thian Bu melakukannya bukan hanya sekedar untuk melampiaskan kemarahannya kepada Hui Song ketika pemuda itu menggagalkan dia yang hendak menculik wanita ketika dia mengintai wanita-wanita yang sedang mandi itu. Dia melakukannya dengan perhitungan. Dia membiarkan kakek Mancu lolos bukan sekali-kali karena kakek itu mirip dengan ayahnya, sama sekali tidak. Itu hanya suatu alasan belaka.

Dia sengaja membiarkan kakek itu hidup agar kakek itu dapat menghubungi Lam-nong! Dan dia sengaja membiarkan kakek itu melihat seolah-olah Hui Song bermain gila dengan para selir Lam-nong agar timbul kebencian dan permusuhan antara suku bangsa itu dengan Hui Song.

Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: