*

*

Ads

Minggu, 04 Maret 2018

Asmara Berdarah Jilid 102

Karena ia tidak sadar betul kemana ia harus pergi, setelah melewati Tembok Besar, Sui Cin memasuki daerah Mongol tanpa ia ketahui dimana ia berada dan kemana ia harus pergi.

Ia merasa gembira melihat daerah yang sama sekali asing baginya ini. Akan tetapi ia merasa bingung ketika bertemu dengan serombongan orang Mongol, ia sama sekali tidak mengerti bahasa mereka! Setelah rombongan itu pergi ia melamun. Untuk apa ia datang ke tempat asing ini? Ia hanya merasa betapa ada dorongan dalam hatinya bahwa ia harus pergi keluar Tembok Besar, akan tetapi dimana dan untuk apa ia tidak tahu!

Ia mengambil keputusan untuk merantau selama beberapa hari. Kalau selama itu ia tidak juga dapat teringat untuk keperluan apa ia berada di tempat ini, ia akan kembali ke selatan, ke daerah dimana bahasa orang-orangnya ia dapat mengerti artinya.

Pada suatu hari, dalam keadaan kesepian, ia melihat serombongan orang Mongol lagi dan sekali ini diantara mereka terdapat beberapa orang wanita Mongol yang memakai pakaian wanita Han.

Sui Cin teringat akan pakaiannya sendiri. Pakaiannya sudah kotor dan banyak yang robek-robek. Hanya beberapa kali saja, di tempat sunyi dimana tidak terdapat orang lain, ia mencuci pakaiannya dan menjemur pakaian itu. Ia sendiri bertelanjang bulat, karena tidak mempunyai pakaian cadangan.

Dan kini pakaiannya sudah kotor lagi, bahkan sudah robek-robek. Ia bukan seorang gadis pesolek, bahkan biasanya iapun memakai pakaian seadanya dan seenaknya saja, bahkan kadang-kadang nampak nyentrik. Walaupun Sui Cin seorang gadis puteri Pendekar Sadis yang kaya raya, namun sejak kecil ia lebih suka berpakaian sederhana.

Dalam keadaan kehilangan ingatan inipun ia tidak berubah. Hanya ia sejak kecil memang suka akan kebersihan sehingga biarpun pakaiannya buruk dan lama, akan tetapi harus selalu bersih. Dan kini, dengan pakaian hanya satu-satunya sehingga tak dapat diganti dan sudah kotor, ia merasa tersiksa sekali. Karena itulah, melihat beberapa orang yang mengenakan pakaian bagus-bagus dan bersih itu, ia kepingin sekali. Akan tetapi, di saku bajunya sama sekali tidak ada apa-apanya, apalagi uang untuk membeli pakaian.

Dengan hati amat kepingin akan tetapi tidak berdaya membeli dan juga merasa malu untuk mencoba-coba minta, Sui Cin diam-diam mengikuti rombongan yang terdiri dari belasan orang itu.

Mereka membawa dua buah kereta untuk wanita dan anak-anak, sedangkan para prianya berjalan sambil berjaga-jaga. Malam itu, ketika rombongan berhenti dan bermalam di sebuah dusun, Sui Cin beraksi dan pada keesokan harinya, keluarga itu ribut-ribut karena kehilangan dua stel pakaian wanita yang masih baru. Dua stel pakaian itu menghilang tanpa bekas!

Dan pada pagi hari itu, Sui Cin dengan pakaian baru tersenyum-senyum gembira. Ia telah berganti pakaian dan merasa dirinya segar sehabis mandi di luar dusun dan mengenakan pakaian baru dan bersih, bahkan kini masih ada satu stel yang dibuntalnya dengan pakaian lamanya.

Hanya satu hal yang masih membuatnya tidak senang, yaitu bahwa ia sama sekali tidak dapat berhubungan dengan orang-orang itu karena tidak mengerti bahasanya. Dan iapun tidak ingin pakaian yang dipakainya itu dikenal oleh rombongan semalam, maka iapun melanjutkan perjalanannya, kini membelok ke timur.

Pada keesokan harinya, selagi berjalan seorang diri menimbang-nimbang apakah tidak sebaiknya kalau ia kembali ke selatan, tiba-tiba ia melihat seorang nenek sedang menangis di tepi sebuah hutan.

Nenek itu berjongkok dan menangisi seekor ular yang mati dan melingkar di atas tanah. Nenek itu jelek sekali. Mukanya penuh keriput dan buruk, tubuhnya kurus dan punggungnya bongkok melengkung, rambutnya yang putih riap-riapan. Pakaiannya jubah kedodoran dan ketika Sui Cin mendekat, ia mencium bau yang tidak enak. Akan tetapi, biarpun demikian, tetap saja hati gadis itu merasa gembira dan ia terus menghampiri.

Yang membuatnya bergembira adalah karena ia dapat mengerti kata-kata tangisan atau keluhan nenek itu! Nenek itu mempergunakan bahasa Han dari selatan, walaupun agak kaku, namun ia dapat mengerti dengan jelas.

"Aduhhh, anakku yang baik... ah, kenapa engkau mati dan kenapa engkau tega sekali meninggalkan aku seorang diri... hu-hu-huhh... kemana aku harus mencari pengganti sepertimu, yang setia, patuh dan tangguh? Hu-hu-huuhhh...!"

Dalam keadaan biasa, tentu Sui Cin akan merasa ngeri mendekati nenek itu. Wajahnya demikian buruk menakutkan, dan sikapnya itu seperti orang gila. Mana ada orang menangisi kematian seekor ular besar? Akan tetapi, karena sudah berhari-hari baru sekarang ia mendengar kata-kata yang dapat dimengertinya, hatinya gembira sekali dan ia merasa kasihan kepada nenek ini.






Memang bukan hanya gadis itu yang mempunyai perasaan demikian. Semua orangpun, kalau berada di tempat asing, atau lebih tepat lagi, kalau berada di negara asing, diantara bangsa asing yang berbahasa asing pula, akan merasa gembira sekali kalau berjumpa dengan orang sebangsa, atau setidaknya sebahasa! Seolah-olah bertemu dengan seorang saudara diantara orang-orang asing.

"Nenek yang baik, mengapa engkau begini bersedih? Engkau kematian binatang peliharaanmu? Mengapa ular ini bisa mati, nek?"

Nenek itu menghentikan tangisnya dengan tiba-tiba, lalu menoleh. Matanya yang melotot lebar itu amat mengerikan, akan tetapi Sui Cin tersenyum manis kepadanya, dengan sikap menghibur. Nenek ini seperti anak kecil saja, pikirnya, menangisi binatang peliharaannya yang mati. Kalau binatang peliharaan seperti kucing, anjing, kuda atau ternak lainnya, bahkan burung kesayangan, masih wajar. Akan tetapi yang ditangisi kematiannya ini adalah seekor ular besar yang mengerikan!

"Siapa kau...?" Nenek itu tiba-tiba bertanya, seolah-olah merasa heran ada orang menegurnya, apalagi dalam bahasa Han. Kemudian matanya terbelalak dan mengeluarkan sinar berkilat. "Eh, engkau... engkau gadis she Ceng itu...!" nenek itu berseru dan bangkit berdiri. Setelah ia berdiri, bongkoknya nampak sekali.

Sui Cin juga bangkit berdiri, memandang kepada nenek itu dengan wajah berseri.
"Nenek yang baik, engkau mengenalku? Engkau tahu benar bahwa aku she Ceng? Sesungguhnya nek, aku telah lupa segala tentang diriku, maka... tolonglah kau beritahu siapa diriku ini, nek?"

Nenek itu tertawa, suara ketawanya terkekeh lirih dan mata yang lebar itu berkilauan membayangkan kecerdikan dan kelicikan, juga kekejaman luar biasa. Kalau saja Sui Cin tidak kehilangan ingatannya, tentu ia akan terkejut setengah mati berjumpa dengan nenek ini, karena nenek ini adalah seorang musuh lamanya, yaitu Kiu-bwe Coa-li (Nenek Ular Ekor Sembilan), seorang diantara Cap-sha-kui yang kejam dan lihai!

Dan agaknya nenek yang menjadi datuk kaum sesat ini tidak melupakan Sui Cin, maka ia nampak terkejut sekali. Akan tetapi begitu melihat sikap Sui Cin yang lupa akan keadaan dirinya, nenek itu terkekeh girang.

"Ah, bagaimana engkau bisa melupakan dirimu sendiri, nona?" tanyanya, sikapnya kelihatan ramah dan wajahnya yang amat buruk itu tidak begitu menakutkan lagi.

"Entahlah, nek. Seingatku, ada yang menghantam kepalaku, mungkin batu yang dilontarkan seorang musuhku kepadaku dan mengenai belakang kepalaku. Akan tetapi aku menjadi pening dan sampai sekarang aku lupa segalanya tentang diriku. Bahkan engkau yapg ternyata sudah mengenal akupun sama sekali aku tidak ingat lagi. Siapakah aku ini, nek? Tolonglah bantu aku agar kembali ingatanku. Siapakah aku ini?"

"Anak baik, siapakah musuhmu yang menyerangmu dengan lontaran batu itu?"

Sui Cin menggeleng kepala.
"Akupun tidak tahu, nek. Hanya setahuku, dia seorang pemuda yang lihai sekali ilmu silatnya, dan aku tidak akan melupakan wajahnya karena sekali waktu aku harus membalas perbuatannya itu!" Sui Cin mengepal tinju dengan gemas.

"Heh-heh-heh, anak baik, engkau bukan orang lain, masih terhitung cucu keponakanku sendiri."

Sui Cin terbelalak, terkejut, heran dan juga girang.
"Aih, benarkah itu, nek? Siapakah engkau dan siapa pula namaku, siapa pula orang tuaku?"

"Engkau benar-benar tidak ingat kepadaku? Lihat ini, apakah engkau lupa kepada benda ini?"

Kui-bwe Coa-li mengeluarkan senjatanya, yaitu cambuk ekor sembilan yang ampuh dan menyeramkan itu. Akan tetapi Sui Cin memandang biasa saja dan menggeleng kepalanya.

"Tidak, nek, aku tidak mengenal cambuk itu."

Legalah hati Kiu-bwe Coa-li. Agaknya gadis ini memang benar-benar kehilangan ingatannya dan tidak ingat lagi akan segala hal yang dikenalnya di masa lalu. Bagus, pikirnya, memudahkan ia untuk melumpuhkan gadis ini!

"Namamu... Bi Hwa, Ceng Bi Hwa, ayah ibumu sudah tidak ada, engkau yatim piatu dan pernah engkau ikut belajar silat kepadaku selama beberapa tahun dahulu. Mendiang ayahmu adalah keponakanku, jadi engkau adalah cucu keponakanku. Aku dijuluki orang sesuai dengan senjataku ini, ialah Kiu-bwe Coa-li."

Nenek itu memegang cambuk ekor sembilan di tangan kanannya dan diam-diam ia mempersiapkan diri untuk menyerang, kalau gadis itu teringat kembali akan nama julukannya. Akan tetapi, Sui Cin sama sekali tidak ingat, hanya mengulang namanya dengan alis berkerut,

"Bi... Ceng Bi Hwa... ah, aku sama sekali tidak ingat lagi namaku sendiri, nek, Harap maafkan aku..." Kemudian ia memberi hormat kepada nenek itu. "Terimalah hormatku, nek."

Kiu-bwe Coa-li mengangguk-angguk sambil terkekeh girang.
"Bagus, bagus... jangan khawatir, cucuku. Setelah engkau bertemu dengan nenekmu ini, engkau tentu akan menemukan kembali ingatanmu, heh-heh."

"Aih, benarkah, nek? Benarkah engkau hendak mengobatiku? Ah, aku akan girang sekali kalau aku dapat mengingat semua keadaan diriku."

"Tentu saja! Bukankah engkau cucu keponakanku yang tersayang? Jangan khawatir, dengan mudah saja aku akan dapat menyembuhkanmu dan mengembalikan ingatanmu. Akan tetapi sebelum itu, aku ingin sekali menyelidiki bagaimana keadaan orang yang kehilangan ingatannya. Perlu bagiku untuk pengobatan. Bi Hwa, apakah engkau lupa pula dengan semua ilmu silatmu yang pernah kuajarkan kepadamu?"

Sui Cin mengerutkan alisnya dan menggeleng.
"Aku lupa bahwa engkau yang mengajarkan ilmu silat kepadaku, nek, dan lupa lagi ilmu silat apa adanya itu. Akan tetapi gerakan ilmu silat itu sudah mendarah daging di tubuhku, menjadi gerakan otomatis kaki tanganku sehingga aku bergerak tanpa kuingat lagi. Agaknya... agaknya aku tidak melupakan ilmu silat itu, nek."

"Hemm... aneh, aneh. Akan tetapi sebaiknya kalau kucoba untuk membuktikan kebenaran omonganmu. Nah, kau bergeraklah menurut nalurimu, aku akan mencoba untuk menyerangmu dengan cambukku. Setelah ujian ini, baru nanti aku akan mengobatimu sampai sembuh, cucuku tersayang."

Nenek itu menggerakkan cambuknya ke atas, terdengar bunyi meledak-ledak ketika sembilan ekor cambuknya itu seperti hidup sendiri-sendiri, bergerak-gerak bagaikan sembilan ekor ular hidup! Dan tiba-tiba cambuk itu menyambar ke arah Sui Cin.

"Tar-tar-tarr...!"

Sui Cin terkejut melihat gerakan cambuk yang hebat ini. Tak disangkanya nenek yang aneh seperti orang gila atau seperti anak kecil ini, yang menangisi kematian seekor ular, dan yang ternyata adalah bibi dari ayahnya seperti yang dikatakan nenek itu, kiranya memiliki kepandaian hebat dan serangan cambuk itu benar-benar amat berbahaya.

Sembilan ekor ujung cambuk itu bergerak seperti ular-ular hidup dan masing-masing kini menyerang secara bertubi ke arah sembilan jalan darah di tubuhnya! Tentu saja iapun cepat menggerakkan tubuhnya dan tiba-tiba saja tubuh gadis di depannya itu berkelebat dan lenyap!

Terkejutlah Kiu-bwe Coa-li. Seingatnya, gadis yang ia ketahui adalah puteri Pendekar Sadis ini, walaupun memang lihai, namun tidak sehebat ini kelihaiannya. Gadis yang berada di depannya ini memiliki gin-kang yang mentakjubkan! Ia menjadi penasaran sekali, akan tetapi mulutnya terkekeh.

"Heh-heh, bagus, engkau masih memiliki kegesitanmu. Nah, bersiaplah, aku akan menyerang sungguh-sungguh!"

Dan cambuk itu diputar, mengeluarkan suara ledakan-ledakan kecil dan kini nenek itu menyerang dengan hebat sekali. Dahsyat dan buas serangannya, ujung cambuk yang sembilan itu mematuk-matuk dan menotok-notok, mencari jalan darah di tubuh Sui Cin.

Gadis ini secara otomatis menggerakkan tubuhnya, dengan gin-kang yang baru-baru ini dipelajarinya dari Wu-yi Lo-jin, tubuhnya berkelebatan seperti bayang-bayang yang cepat sekali menyambar-nyambar diantara gulungan sinar-sinar hitam dari cambuk nenek itu. Tentu saja ia tidak membalas karena ia menganggap bahwa nenek itu hanya sekedar menguji apakah ia tidak melupakan ilmu silatnya yang menurut nenek itu diajarkan oleh nenek itu kepadanya!

Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: