*

*

Ads

Kamis, 01 Maret 2018

Asmara Berdarah Jilid 094

Gadis itu tersenyum, manis sekali kalau tersenyum, terutama karena tahi lalat kecil di atas dagu itu.

"Orang-orang muda yang tidak berdosa? Taihiap tidak tahu..."

"Mungkin mereka melakukan kesalahan, akan tetapi kesalahan itu hanyalah berupa ejekan terhadap mereka yang berpakaian pendeta, dan itupun dilakukan dalam keadaan mabok."

"Taihiap salah mengerti. Empat orang muda itu tidaklah sebersih itu, tidak seperti yang taihiap sangka. Mereka adalah mata-mata pemberontak yang menyamar, sebagai pemuda-pemuda pemabokan dan kalau Ciang-tosu dan Ciong-hwesio tidak mempergunakan pukulan beracun, mereka tentu tidak mudah dikalahkan dan tempat kami tentu sudah ketahuan dan kami diserbu oleh para pemberontak."

Hui Song terbelalak heran, juga terkejut karena sungguh hal itu tidak pernah disangkanya sama sekali.

"Aku merasa gembira sekali dapat bersahabat dengan taihiap, apalagi akan mendapatkan bantuanmu. Ketika kedua orang locianpwe itu memberi tahu kepadaku tentang diri taihiap, kami bertiga sudah mengambil kesimpulan bahwa tentu engkau adalah seorang tokoh Cin-ling-pai dan ternyata dugaan kami benar seperti yang taihiap nyatakan sendiri ketika taihiap bicara dengan sumoi taihiap itu dan menyebut-nyebut Cin-ling-san."

"Memang aku adalah putera ketua Cin-ling-pai," kata Hui Song yang merasa tidak ada gunanya lagi menyembunyikan keadaan dirinya.

"Ahh...!" Gadis itu bangkit dan menjura. "Kalau begitu aku telah berlaku kurang hormat dan maafkanlah kelancanganku, taihiap."

"Sudahlah, nona. Kedudukan dan nama tidak merubah keadaan seseorang. Sebaiknya nona ceritakan, urusab apakah itu yang membutuhkan bantuanku?"

"Urusan ini amat penting dan rahasia, taihiap. Ketahuilah bahwa kami yang mewakili beberapa orang-orang kang-ouw di wilayah selatan, mengutus aku dan dibantu oleh dua orang locianpwe itu untuk menyelidiki sebuah harta karun."

"Hemm..."

Hui Song termenung. Tak disangkanya bahwa urusan itu hanyalah urusan menyelidiki dan mencari harta karun!

"Bukan sembarang harta karun, taihiap. Kalau engkau mengira bahwa kami adalah orang-orang yang haus akan harta karun, engkau keliru! Ketahuilah bahwa kami mencari harta karun itu justeru dalam usaha kami menentang usaha para pemberontak. Para pemberontak itu akan menjadi kuat sekali kalau harta karun itu tidak kita dahului dan kita ambil."

"Apa maksudmu? Aku tidak mengerti, nona."

"Begini, taihiap. Tempat dimana harta karun itu berada kini juga diintai oleh para pemberontak. Kabarnya malah Raja dan Ratu Iblis sendiri juga mencarinya. Akan tetapi, kami lebih beruntung karena kami sudah dapat menemukan tempat itu. Hanya saja... tempat itu sukar didatangi, bahkan aku telah kehilangan nyawa beberapa orang teman ketika mencoba untuk mencari harta karun di tempat itu."

"Ah, begitu berbahayakah? Apa yang menyebabkan bahaya itu?"

"Tempatnya amat sukar dilalui dan tempat itu terkenal dengan nama Guha Iblis Neraka! Agaknya tempat itu memang sengaja dibuat agar tidak ada orang yang berani memasuki. Kabarnya, dahulu dibuat oleh seorang tosu sakti, yang mencuri harta karun dari kaisar lalim dan disimpan di tempat itu, dan disediakan untuk mereka yang akan menentang kaisar lalim di kemudian hari. Harta karun itu sudah hampir seribu tahun umurnya dan sampai kini belum juga ada yang berhasil menemukannya."

"Kalau demikian sukarnya, mengapa engkau minta bantuanku? Kalau orang seperti engkau dan teman-temanmu tidak sanggup, mana mungkin aku akan bisa membantumu?"

"Begini, taihiap. Diantara kami yang dapat menyeberangi jembatan batu pedang, hanya aku seorang. Kedua locianpwe itupun hanya sanggup maju belasan meter saja. Dan aku sudah menyeberangi jembatan batu pedang itu, namun selanjutnya aku tidak sanggup menggerakkan batu penutup lubang di sebelah dalam. Aku membutuhkan bantuan orang yang memiliki gin-kang dan sin-kang yang melebihi aku dan ternyata engkau amat lihai, jauh melampaui tingkatku dan..."

"Dan dengan mudah aku yang lebih lihai ini tertawan olehmu!" Hui Song mengejek






Siang Hwa tertawa.
"Aih, engkau sakit hati benarkah, taihiap? Sudahlah, biar aku mengaku bahwa aku telah bertindak curang dan maafkanlah aku. Nah, rahasia itu sudah kuceritakan dan kalau engkau membantu kami, hal itu berarti bahwa engkau sudah menentang para pemberontak. Kalau kita berhasil, berarti kita telah memukul para pemberontak dan melumpuhkan setengah dari kekuatan mereka!"

Tentu saja Hui Song tertarik sekali. Biarpun dua orang kakek itu dianggapnya kejam, dan ternyata tidak dapat dinamakan kejam kalau empat orang muda itu adalah mata-mata pentberontak, dan biarpun gadis ini pernah bersikap tidak menyenangkan hatinya, akan tetapi mereka ini adalah orang-orang yung menentang pemberontak yang dipimpin Raja dan Ratu Iblis, berarti masih rekan sendiri dalam usahanya menentang para pemberontak.

"Baik, kapan kita berangkat kesana?"

"Sekarang juga, taihiap."

"Baik, mari kita berangkat, singgah di rumah penginapan karena aku akan mengambil buntalan pakaianku lebih dahulu."

Wanita itu tertawa, pergi ke sebelah kamar dan kembali membawa sebuah buntalan yang terisi semua pakaian Hui Song yang tadi ditinggalkan di dalam kamar rumah penginapan itu.

"Eh? Bagaimana... kapan..."

"Taihiap, ketika aku mendengar dari kedua locianpwe tentang dirimu, aku tertarik sekali dan aku lalu pergi ke rumah penginapan itu, diam-diam memasuki kamarmu. Ternyata engkau tidak ada, maka aku lalu mengambil pakaianmu, kubawa ke sini karena aku bermaksud untuk mencarimu sampai dapat. Ketika kulihat engkau berada di balik pohon, aku menyimpan pakaian ini, lalu aku pergi lagi untuk muncul berlarian di atas genteng agar nampak olehmu dan selanjutnya kita bertanding..."

Ia terkekeh lirih dan menutupi mulut, gayanya manis sekali. Wajah Hui Song menjadi kemerahan.

"Sudahlah, mari kita pergi."

"Pakaianmu biar disimpan disini dulu."

Berangkatlah mereka berdua, seperti dua sahabat lama, meninggalkan kuil tua itu setelah Siang Hwa memadamkan penerangan dan menutupkan pintu kamar sederhana itu. Dari luar, kuil itu nampak sunyi dan menyeramkan.

Mereka melakukan perjalanan cepat keluar dusun menuju ke arah timur. Pada pagi harinya, setelah melakukan perjalanan beberapa jam lamanya, mereka tiba di kaki bukit dan di luar sebuah hutan telah menanti dua orang yang dari jauh sudah dikenal oleh Hui Song, yaitu dua orang kakek yang pernah bertanding dengan dia, si tosu tinggi kurus dan si hwesio gendut!

Dua orang itu nampak terkejut melihat Hui Song, akan tetapi Siang Hwa segera tersenyum dan memperkenalkan.

"Ji-wi locianpwe jangan khawatir. Cia-tai-hiap telah menjadi sahabat kita yang sehaluan dan sudah kujelaskan semua tentang ji-wi kepadanya. Cia-taihiap adalah putera ketua Cin-ling-pai dan agaknya dialah yang memiliki kemampuan untuk membuat usaha kita berhasil."

Dua orang itu kini sikapnya berbeda dengan ketika pertama kali bertemu dengan Hui Song. Mendengar ucapan Siang Hwa, mereka segera menjura kepada Hui Song dengan sikap hormat dan ramah.

"Cia-taihiap, maafkan kami yang telah bersikap tidak patut kepadamu," kata Ciang-tosu yang sebenarnya adalah Hui-to Cin-jin, seorang diantara Cap-sha-kui yang belum pernah dikenal Hui Song.

"Ha-ha-ha, ada peribahasa mengatakan bahwa Tidak Berkelahi Maka Tidak Kenal ternyata benar! Cia-taihiap, kita sudah saling bertanding, maka saling mengenal isi perut masing-masing! Ha-ha-ha!" Ciong hwesio yang sebenarnya adalah Kang-thouw Lo-mo juga berkata.

"Cia-taihiap, harap maafkan. Ciang-tosu memang selalu serius dan Ciong-hwesio sebaliknya suka bergurau!"

Siang Hwa cepat berkata untuk memberi isyarat kepada kedua orang temannya bahwa ia memperkenalkan mereka kepada Hui Song sebagai Ciang-tosu dan Ciong-hwe-sio.

"Siancai... memperoleh seorang pembantu seperti Cia-taihiap sungguh merupakan suatu kebahagiaan besar!" kata Ciang-tosu.

"Omitohud, sungguh pinceng yang tidak becus sehingga merepotkan saja kepada putera ketua Cin-ling-pai." kata pula Ciong-hwesio.

Berangkatlah empat orang itu melanjutkan perjalanan menuju ke utara. Perjalanan itu dilakukan dengan cepat dan setelah mereka melewati dan menyeberangi Sungai Ching-ho, tibalah mereka di kaki Pegunungan Lu-liang-san yang amat luas itu.

Perjalanan sampai ke situ sudah makan waktu lima hari dan selama lima hari itu, Siang Hwa dan dua orang kakek itu selalu bersikap ramah dan sopan sehingga keraguan dan kecurigaan hati Hui Song semakin menipis. Gadis itu memang seorang pendekar wanita, pikirnya, hanya agaknya memiliki kelemahan terhadap pria yang menarik hatinya, ataukah memang gadis ini benar-benar jatuh cinta kepadanya.

Di sepanjang perjalanan, Siang Hwa tidak memperlihatkan sikap genit. Bujuk rayu yang amat berani, yang dilakukan ketika Hui Song tertawan itu, kini sama sekali tidak nampak lagi dan ia hanya kelihatan amat memperhatikan Hui Song dan selalu berusaha menyenangkan hatinya, seperti biasanya seorang wanita yang jatuh cinta.

Setelah melewatkan malam di kaki bukit, pada keesokan harinya pagi-pagi sekali mereka sudah berangkat lagi, sekali ini memasuki hutan dan melalui jalan yang amat sukar, naik turun bukit dan jurang, melalui jalan liar berbatu-batu yang runcing dan tajam. Jelas bahwa orang biasa akan sukar melalui jalan seperti itu, dan kalaupun ada orang pandai yang dapat, untuk apa mereka bersusah payah mendatangi tempat ini? Tanpa tujuan penting, kiranya tidak akan ada orang begitu gila untuk menyusahkan diri memasuki daerah yang liar dan sukar dilalui ini.

Setelah matahari naik tinggi, di bawah pimpinan Ciang-tosu yang agaknya mengenal baik jalan liar itu, tibalah mereka di daerah berbukit-bukit dan mereka berhenti di depan sebuah bukit yang dikelilingi jurang.

Hui Song terbelalak kagum. Bukit ini seperti sebuah rumah besar saja, dan pintunya adalah sebuah guha yang besar. Agaknya guha ini dahulunya ditutup dengan pintu batu yang amat besar. Akan tetapi pintu batu itu kini sudah terbuka miring dan pada pintu batu yang amat tebal dan beratnya tentu ribuan kati itu terdapat ukiran tulisan tiga huruf yang berbunyi GUHA IBLIS NERAKA.

Sungguh amat indah, megah dan juga menyeramkan. Siapakah orangnya yang sudah dapat membuat pintu batu seperti itu dan siapa pula yang kuat membukanya? Kalau menggunakan tenaga manusia biasa, sedikitnya membutuhkan lima puluh orang yang menggabungkan tenaganya. Dan guha yang sudah terbuka itu nampak begitu luas, seolah-olah bukan guha melainkan sebuah pintu tembusan menuju ke sebuah dunia yang lain lagi, dunia penuh dengan batu-batu raksasa yang aneh-aneh bentuknya, seperti diukir saja. Ataukah ini merupakan istana besar yang dihuni setan?

Empat orang itu begitu terpesona dan asyik memandang ke dalam, berdiri seperti patung-patung di depan guha yang pintunya terbuka itu sehingga mereka tidak tahu sama sekali bahwa sejak tadi, sebelum mereka tiba di tempat itu, jauh tinggi di atas pohon terdapat seorang gadis yang mendekam di atas dahan dan bersembunyi di balik daun-daun lebat, mengintai ke arah mereka!

Seorang gadis manis yang cantik jelita, berusia kurang lebih sembilan belas tahun, berwajah periang dan bermata kocak, berpakaian sederhana.

Kalau saja Hui Song dapat melihat gadis itu, tentu dia akan berteriak kegirangan karena gadis itu adalah wanita yang selama ini selalu terbayang olehnya, dibawa ke dalam mimpi, dan tak pernah dilupakannya. Gadis itu adalah Ceng Sui Cin!

"Sebaiknya kita masuk sekarang sebelum gelap," kata Ciang-tosu atau Hui-to Cin-jin sambil menunjuk ke dalam dengan tangan kirinya.

"Mari, taihiap, kita masuk, biar aku yang menjadi penunjuk jalan karena aku yang sudah beberapa kali pernah masuk kesini!" kata Siang Hwa.

Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: