*

*

Ads

Senin, 19 Februari 2018

Asmara Berdarah Jilid 061

Sui Cin cemberut. Kiranya belum sembuh juga penyakit laki-laki itu, pikirnya. Ia hendak memaki dan sudah mengerahkan khi-kang untuk berteriak agar terdangar dari perahu besar yang sudah jauh, akan tetapi pada saat itu, banyak kepala nongol di tepi perahu itu sehingga ia melirihkan suaranya agar tidak terdangar banyak orang,

"Engkau... ceriwis dan brengsek...!"

Karena gadis itu tidak mempergunakan khi-kang ketika berteriak, tentu saja suaranya tidak dapat mencapai perahu besar yang sudah lewat agak jauh. Can Koan Ti merasa penasaran tidak mendangar apa yang diucapkan dara jelita itu, maka diapun berteriak,

"Apaaaa...? Kau bicara apa, nona...?"

Akan tetapi Sui Cin hanya memoncongkan mulut mencibirkan bibir saja. Melihat ini, pemuda bangsawan itu menjadi gemas. Awas kau, pikirnya, kalau sudah menjadi milikku, kugigit bibirmu itu!

Sui Cin tertawa-tawa kecil, senang hatinya sudah dapat menggoda pemuda bangsawan itu. Aneh, kenapa aku menjadi marah karena dipuji cantik? Ah, bukan pujiannya yang membuatnya marah, melainkan sikap pemuda itu, dan mungkin juga tergantung dari siapa yang memujinya. Kalau memang hati sudah tidak suka, biar dipujipun mungkin saja dianggap melakukan kekurangajaran. Sebaliknya kalau hati suka, biar dikurangajari sekalipun mungkin akan dianggap sebagai pujian yang menyenangkan!

Sui Cin sengaja memutar perahunya dan menghampiri Pulau Teratai Merah dari arah selatan karena di bagian selatan dari pulau itu terdapat sebuah taman laut yang amat indah. Di waktu air laut sedang tenang, dari atas perahu dapat nampak ikan-ikan di bawah permukaan air yang tidak begitu dalam dan dasar laut itupun penuh dengan batu dan bunga karang yang amat indah dan beraneka warna.

Ketika tiba di tempat ini, Sui Cin tidak dapat menahan keinginan hatinya untuk menikmati tempat itu. Ia menoleh ke kanan kiri. Sunyi. Memang tidak ada nelayan berani mendekat Pulau Teratai Merah tanpa seijin orang tuanya, dan ayah bundanya melarang para nelayan mendatangi taman laut itu.

Setelah merasa yakin bahwa disitu tidak terdapat orang lain, Sui Cin lalu membuang jangkar, menggulung layar, menanggalkan pakaian luarnya kemudian juga pakaian dalamnya. Dengan bertelanjang bulat ia mengikat rambutnya di atas kepala dan terjunlah ia ke dalam air. Ia menyelam dan segera ia memasuki keadaan yang hanya dapat dibayangkan dalam mimpi.

Sebuah alam yang amat indah, beraneka warna, ada bintang-bintang berwarna, ada bunga-bunga raksasa dengan warna menyolok, ada ikan-ikan yang warnanya berkilauan dan bentuknya beraneka macam, ada yang teramat aneh dan menyeramkan.

Ia menyelam, hanya timbul untuk berganti napas dan menyedot hawa murni sebanyaknya, menyelam lagi dan tanpa dirasakan telah satu jam lebih ia bermain-main di tempat itu, suatu kebiasaan yang dahulu menjadi kesukaannya sebelum ia pergi merantau.

Setelah ia merasa lelah dan puas, baru ia naik ke perahunya, mengeringkan tubuh dan rambut, lalu mengenakan lagi pakaiannya. Dan hatinya kini menjadi semakin riang, wajahnya semakin cerah ketika ia mengemudikan perahunya menuju ke Pulau Teratai Merah.

Biarpun Pulau Teratai Merah tidak pernah dijaga ketat karena keluarga Ceng tidak takut akan ancaman bahaya, namun para pelayan mereka yang rata-rata memiliki kepandaian silat lumayan itu selalu bersikap waspada.

Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila mereka sudah tahu akan kedatanan nona mereka dan hal ini segera mereka laporkan kepada majikan mereka. Itulah sebabnya ketika Sui Cin muncul di ruangan depan rumah gedung keluarganya, ayah ibunya telah berdiri menyambut dengan senyum gembira.

"Ayah...!"

Sui Cin berlari dan memeluk ayahnya, sejenak menempelkan mukanya di dada yang bidang itu. Jari-jari tangan ayahnya mengelus rambutnya, mendatangkan rasa senang dan tenteram di hati. Ia lalu mengangkat mukanya, memandang wajah ayahnya yang masih ganteng itu sambil tersenyum.

"Engkau baik saja, bukan?" Ayahnya bertanya halus.

Sui Cin mengangguk, lalu melepaskan dirinya dan menghampiri ibunya, terus merangkulnya,

"Ibu...!"






Toan Kim Hong memeluk anaknya dan menciumi pipinya.
"Anak bengal, terlalu lama kau pergi, membuat kami merasa rindu sekali."

Sui Cin juga menciumi muka ibunya yang amat cantik itu.

"Ihh, rambutmu basah! Bau air laut pula! Dan pakaianmu... hemm, kenapa engkau memakai pakaian seperti... seperti jembel...!"

Wanita itu menegur dan alisnya berkerut. Sebagai seorang ibu yang suka akan pakaian indah, tentu saja hati nyonya ini merasa kecewa melihat puteri tunggalnya berpakaian yang dianggapnya jorok dan terlalu sederhana, pantasnya pakaian wanita petani miskin.

Sui Cin melepaskan rangkulannya, melangkah mundur tiga tindak dan memandang ayah ibunya. Baru sekarang ia melihat betapa pakaian orang tuanya amat mewah, lebih indah daripada biasanya dan teringatlah ia bahwa tentu ayah ibunya belum berganti pakaian setelah tadi menerima tamu agung, yaitu keluarga Raja Muda Can itu. Timbul rasa tidak senangnya akan kemewahan ayah bundanya dan ia berkata dengan nada mengejek dan senyum dibuat-buat.

"Wah, pakaian ibu dan ayah indah sekali, baru dan mewah seperti pakaian kaum bangsawan saja!"

Memang pakaian yang dikenakan suami isteri itu indah dan mewah. Ceng Thian Sin yang telah berusia empat puluh enam tahun itu masih nampak muda dan gagah, tubuhnya tegap dan sehat, wajahnya berseri dan kepalanya memakai sebuah topi yang bagus, dihias bulu. Pakaiannya dari sutera halus biru dan putih, rapi dan mewah seperti pakaian seorang hartawan asli, sepatunya mengkilap dan baru.

Toan Kim Hong lebih mewah lagi. Rambutnya disanggul di atas, dihias emas dan permata berbentuk sebuah mainan naga kecil, kedua telinganya dihias anting-anting mutiara besar, juga kalung batu-batu permata tergantung di luar bajunya yang amat indah.

Gaun itu disulam gambar seekor burung hong dari benang emas, sesuai dengan namanya "Kim Hong" yang berarti burung hong emas! Wajah wanita yang sebetulnya dua tahun lebih tua dari suaminya ini masih nampak seperti wanita tiga puluh tahunan saja, cantik manis dan kulitnya putih halus. Sungguh sukar dipercaya bahwa wanita yang begini cantik jelita pernah menjadi Lam-sin, datuk selatan yang ditakuti semua golongan hitam.

Toan Kim Hong merasakan nada suara mengandung ejekan itu. Sepasang alisnya berkerut ketika ia berkata,

"Sui Cin! Tidak pantas engkau mengejek orang tuamu! Tidak pantas pula engkau mengenakan pakaian semacam ini! Engkau tentu tahu siapa ayahmu, dan dari mana datangnya nama keluarga Ceng. Ayahmu masih berdarah keluarga kaisar! Kakek ayahmu adalah mendiang Kaisar Ceng Tung, maka memang sudah sepatutnya kalau keluarga kita adalah keluarga bangsawan. Dan ayahku sendiri adalah seorang pangeran yang tidak rendah kedudukannya. Keluarga Toan adalah keluarga bangsawan pula. Maka, tidak perlu engkau mengejek."

Thian Sin memegang lengan isterinya dan merangkul pundak puterinya.
"Sudahlah, masa anak baru datang dimarahi. Dan engkau, Cin, tidak baik bersikap seperti itu kepada ibumu. Mari kita bicara di dalam. Kami ingin menyampaikan berita penting sekali mengenai dirimu."

Mereka bertiga lalu berjalan masuk dan suasana antara ibu dan anak itu sudah pulih kembali. Mereka masuk ke ruangan dalam dimana tidak ada pelayan yang berani masuk tanpa dipanggil dan duduklah keluarga yang terdiri dari tiga orang itu.

"Dalam perjalanan pulang tadi, di tengah lautan aku bertemu dengan perahu Raja Muda Can. Agaknya dia berkunjung kesini, benarkah, ayah?" Sui Cin bertanya, teringat akan perjalanannya tadi.

"Benar," jawab ayahnya. "Memang keluarga Can tadi berkunjung kesini dan justeru urusan dengan mereka itu yang ingin kami ceritakan kepadamu!"

Sui Cin mengerutkan alis.
"Tadi ayah bilang akan menyampaikan berita penting mengenai diriku...?"

"Ada hubungannya dengan kunjungan keluarga Raja Muda Can..." kata ibunya.

Sui Cin memandang kepada ayah ibunya yang kelihatannya ragu-ragu untuk bicara.
"Apakah yang terjadi? Apa hubunganku dengan keluarga Can? Ayah, katakanlah!"

Suami isteri itu saling pandang dan dalam pertemuan pandang mata itu tahulah Pendekar Sadis bahwa isterinya dalam keadaan terharu dan menghendaki agar dia yang menyampaikan berita itu kepada anak mereka.

"Anakku, tahukah engkau berapa usiamu tahun ini?" tanyanya, ingin menyampaikan berita itu secara halus dan memutar.

"Usiaku?" Sui Cin memandang heran. "Ayah tentu tahu, usiaku hampir enam belas tahun..."

"Hemmp, sudah dewasa anakku sekarang," Toan Kim Hong berkata.

"Apa hubungannya aku dan usiaku dengan keluarga Raja Muda Can? Ahhh... aku tahu... ahh, si keparat, agaknya mereka datang untuk meminang aku, begitukah ayah dan ibu?"

"Sui Cin, hati-hati dengan mulutmu itu!" Ibunya menghardik. "Keluarga Can adalah keluarga bangsawan dan pembesar yang terhormat dan mereka datang meminangmu merupakan suatu kehormatan besar bagi kita, bagaimana engkau berani mengeluarkan kata makian?"

"Sui Cin, bersikaplah tenang dan hadapi segalanya dengan pikiran yang matang, jangan terlalu mudah menurutkan perasaan suka atau tidak suka dan dengarkan kata-kata kami." Suara Pendekar Sadis terdengar tegas dan Sui Cin menunduk.

"Maafkan, ayah."

Iapun insyaf bahwa sikapnya memang tidak sepatutnya. Ia sudah dewasa, bukan anak kecil lagi dan ia harus dapat menghadapi segala sesuatu dengan tenang seperti yang dimaksudkan ayahnya.

"Sui Cin, keluarga Can memang datang berkunjung untuk mengajukan pinangan atas dirimu. Engkau tahu bahwa keluarga itu adalah keluarga yang terhormat, seorang wakil kaisar untuk daerah selatan, seorang pangeran yang menjadi raja muda, selain berdarah bangsawan tinggi, juga kaya raya dan kedudukannya tinggi terhormat. Dan puteranya, Can-kongcu adalah seorang pemuda yang terpelajar dan halus budi. Tak perlu kuceritakan banyak karena engkaupun sudah mengenalnya."

"Dan ayah ibu sudah menerimanya?" tanya Sui Cin, jantungnya berdebar tegang.

"Kami menyambutnya dengan baik dan biarpun di dalam hati kami merasa setuju sekali, akan tetapi kami ingin menanti sampai engkau pulang, jadi kami belum mengambil keputusan menerimanya. Keluarga Can yang bijaksana mengerti keadaan kami karena engkau tidak berada di rumah dan mereka menanti sampai engkau pulang."

"Terima kasih, ayah dan ibu, dan memang tidak perlu diterima pinangan itu karena aku tidak mau."

"Apa?" Ceng Thian Sin bangkit berdiri. "Engkau tidak mau? Mengapa?"

Sui Cin menentang pandang mata ayahnya yang kelihatan tidak senang.
"Tidak apa-apa, hanya aku tidak suka dan tidak disuka menjadi isteri Can Koan Ti yang ceriwis itu!"

"Sui Cin, jangan sesombong itu engkau!"

Kini ibunya bangkit berdiri dengan sikap marah.
"Can-kongcu orangnya baik hati dan ramah, dan engkau memakinya ceriwis! Kami hendak mengangkatmu menjadi seorang yang terhormat dan mulia, akan tetapi engkau menolaknya mentah-mentah! Apakah engkau ingin menjadi perawan tua? Apakah engkau ingin membikin malu orang tua dengan penolakan ini, padahal kami sudah bersikap menerima dan setuju terhadap mereka?"

Melihat ayah ibunya bangkit berdiri dengan sikap marah, Sui Cin juga bangkit berdiri menghadapi mereka. Hatinya terasa panas dan ia merasa dipojokkan.

"Ibu sekarang sudah berusia empat puluh tahun lebih dan aku baru enam belas tahun, berarti bahwa ibupun tentu bukan berusia muda ketika menikah dengan ayah. Mengapa hendak memaksa menikah dalam usia enam belas tahun dan khawatir aku menjadi perawan tua?"

Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: