*

*

Ads

Sabtu, 20 Januari 2018

Asmara Berdarah Jilid 029

Untuk melindungi dirinya, kekayaan dan kedudukannya, maka Liu-thaikam sengaja menyuruh kaki tangannya untuk menghubungi orang-orang pandai di luar istana. Dengan menggunakan kekayaannya yang amat besar, dia berhasil menarik orang-orang pandai dari golongan hitam untuk menjadi antek-anteknya. Bahkan akhir-akhir ini dia berhasil memperalat Cap-sha-kui.

Dan tentu saja dia secara mati-matian melindungi kaisar karena kaisar muda itulah yang menjadi pohon emasnya! Kalau sampai kaisar muda itu diganti, berarti dia akan kehilangan kedudukannya, dan mungkin kekayaannya akan dirampas, juga mungkin saja nyawanya pula! Itulah sebabnya mengapa dia mati-matian menjaga keselamatan kaisar dan hal ini bahkan menambah rasa sayang kaisar kepadanya karena perlindungan yang diberikannya itu hanya diartikan sebagai suatu kesetisan besar dari kepala thaikam itu kepada kaisar.

Bukan hanya Cap-sha-kui yang terkena bujukan dan dapat dibeli oleh Liu-thaikam, akan tetapi juga perkumpulan-perkumpulan kuat lainnya. Satu diantaranya adalah Hwa-i Kai-pang yang kini berpusat di Cin-an dan sebagian membuka cabang di kota raja.

Karena mendengar bahwa perkumpulan pengemis ini amat kuatnya, dan memiliki pengaruh yang luas di kalangan para pengemis, Liu-thaikam lalu menyuruh kaki tangannya untuk menghubungi ketuanya, yaitu Hwa-i Lo-eng dan dengan pengaruh harta dan juga kedudukan, ketua yang julukannya gagah ini terjatuh dan dia membawa seluruh anggauta perkumpulan untuk menjadi kaki tangan yang setia dari Liu-thaikam.

Kepercayaan dari orang penting berarti kekuasaan dan kekuasaan merupakan milik yang amat berbahaya. Sudah banyak terbukti dalam sejarah sejak jaman dahulu sampai kini, kebanyakan orang setelah memiliki kekuasaan menjadi mabok kekuasaan dan menyalahgunakan kekuasaannya.

Kekuasaan biasanya membuat orang menjadi tinggi hati, sombong dan ingin memamerkan kekuasaannya dan kalau hal ini teriadi, maka timbullah perbuatan sewenang-wenang dari orang yang mengumbar kekuasaannya. Dan orang-orang yang mabok kekuasaan ini menunjukkan bahwa dia adalah orang yang lemah batinnya, hilang perikemanusiaannya, bahkan bukan seperti manusia lagi melainkan hanya merupakan alat pelampiasan nafsu yang memperhambanya.

Demikian pula keadaan para anggauta Hwa-i Kai-pang. Semenjak mereka menjadi kaki tangan Liu-thaikam, kurang lebih setahun yang lalu, mereka semua merasa seolah-olah mereka telah menjadi pasukan khusus pembesar itu yang besar sekali kekuasaannya dan mereka hendak memaksakan segala macam keinginan hati mereka kepada rakyat tanpa ada rakyat berani melawan karena kepandaian mereka yang tinggi.

Juga tidak ada pembesar berani menentang mereka setelah mengetahui bahwa para pengemis baju kembang itu adalah antek-antek Liu-thaikam! Makin besar kepala sajalah mereka ini, terutama sekali di Cin-an, mereka seolah-olah lebih berkuasa dari para petugas keamanan kota sendiri. Menyiksa dan membunuh orang mudah saja mereka lakukan tanpa tuntutan, dengan dalih bahwa yang mereka siksa atau bunuh itu adalah orang-orang yang bermaksud memberontak terhadap pemerintah.

Demikianlah keadaan para anggauta Hwa-i Kai-pang yang mudah dikenal dari pakaian, tongkat dan gaya mereka. Maka, tidaklah mengherankan apabila orang-orang melarikan diri ketakutan ketika ada dua orang anggauta Hwa-i Kai-pang muncul di pasar itu. Biasanya, para tokoh kai-pang ini hanya menyuruh anak buah mereka saja yang masih muda-muda. Kalau kini ada dua orang tokoh tua maju sendiri, tentu akan terjadi hal-hal yang mengerikan, setidaknya tentu akan ada orang terbunuh.

Hui Song belum pernah mendengar tentang Hwa-i Kai-pang, maka diapun merasa heran dan tidak tahu mengapa dua orang kakek pengemis ini ditakuti orang dan apa yang akan dilakukan kakek itu.

Pada saat itu, ada seorang pengemis muda, paling banyak tiga belas tahun usianya, agaknya anak jembel ini tidak dapat menahan keinginan hatinya untuk memperoleh pembagian uang. Dia berlari menghampiri pemuda jembel yang membagi-bagikan uang itu, lalu mengulurkan tangan memberi isyarat minta-minta. Pemuda remaja itu memandang heran, tersenyum gembira dan memberikan uang logam segenggam sambil berkata, suaranya lantang gembira.

"Bagus, nih kuberi banyak sebagai hadiah keberanianmu. Engkau tidak seperti mereka yang pengecut dan penakut."

Mata anak itu terbelalak ketika melihat segenggam uang logam di tangannya. Belum pernah dia mempunyai uang sebanyak itu! Dia bergembira dan lupa akan kemunculan dua orang kakek pengemis tadi, sambil tersenyum lebar dia menjura berkali-kali kepada pemuda remaja jembel itu sambil berkata,

"Terima kasih, kak, terima kasih, kak!" Lalu dia lari dengan wajah berseri.

Akan tetapi, tiba-tiba larinya terhenti karena ada tubuh orang menghadang di depannya. Anak itu mengangkat mukanya memandang dan tiba-tiba mukanya menjadi pucat ketakutan ketika dia melihat bahwa yang menghadangnya adalah seorang diantara dua kakek pengemis baju kembang tadi.

"Aku... aku tidak mencuri... aku tidak melakukan kesalahan..." Anak itu membela diri ketika melihat pandang mata kakek yang bengis itu.






"Plakkk!"

Tangan kakek itu bergerak dan tubuh anak jembel itu terpelanting, uang yang digenggamnya terlempar ke mana-mana dan iapun menangis sambil memegangi kepalanya yang terasa nyeri seperti akan pecah rasanya. Pipi kirinya bengkak dan matang biru karena tamparan yang amat keras tadi.

"Masih kecil sudah menjadi tukang tadah, kelak hanya akan menjadi maling atau perampok saja. Lebih baik kupatahkan dulu kedua lenganmu!" kata si kakek pengemis.

Banyak orang menonton peristiwa itu dan kakek pengemis kedua berdiri dengan tongkat melintang dan pandang mata menantang seolah-olah ingin sekali melihat siapa yang akan berani menghalangi mereka berdua.

"Ampun... aku tidak berani lagi, ampun...!"

Anak itu meratap ketakutan ketika kakek pengemis yang memiliki tahi lalat besar pada dagunya itu melangkah maju menghampirinya dengan air muka bengis dan sadis.

"Ulurkan lenganmu! Cepat!" bentaknya.

"Tidak... tidak... ampunkan aku..."

Anak itu meratap. Dia sudah mendengar akan kekejaman pengemis-pengemis baju kembang ini dan mendengar bahwa kedua lengannya akan dipatahkan, tentu saja anak itu menjadi ketakutan.

"Apa? Engkau berani membantah? Apakah engkau ingin kupatahkan lehermu sebaiknya daripada kedua lenganmu?"

"Ohhh... ampunkan aku...!"

Karena diancam hendak dipatahkan lehernya, anak itu menjadi semakin ketakutan dan tiba-tiba melarikan diri.

"Berani engkau melarikan diri? Engkau layak dibunuh!"

Kakek itu membentak sehingga si anak jembel menjadi semakin panik. Larinya dipercepat dan tiba-tiba dia menabrak seseorang yang cepat memegang pundaknya.

"Aduh, ampun...!"

Anak itu menggigil dan mengangkat muka memandang. Akan tetapi ternyata yang ditabraknya itu bukanlah kakek pengemis, melainkan seorang pemuda tinggi besar yang memandang kepadanya sambil tersenyum.

"Jangan takut, pergilah dari sini!" kata pemuda itu yang bukan lain adalah Hui Song!

Anak jembel itu pulih kembali semangatnya dan diapun cepat melarikan diri meninggalkan tempat berbahaya itu, hampir tidak percaya bahwa kedua lengannya masih utuh. Dia dapat lolos demikian mudahnya.

Tentu saja dua orang tokoh Hwa-i Kai-pang itu menjadi marah bukan main. Belum pernah ada orang berani mencampuri urusan mereka, apalagi menentang mereka. Pemuda berbaju kedodoran itu sungguh lancang sekali. Menyuruh bocah itu pergi sama saja dengan menantang mereka, maka mereka berdua berloncatan ke depan pemuda itu dengan tongkat me-lintang di depan dada dan pandang mata penuh ancaman.

"Siapakah engkau, begini berani mampus menentang kami?" bentak kakek pe-ngemis yang bertahi lalat di dagunya itu.

Hui Song tersenyum mengejek.
"Siapa adanya aku tidaklah penting, karena aku hanya orang biasa saja. Akan tetapi kalian inilah yang aneh luar biasa. Kalian ini jelas dua orang kakek, akan tetapi memakai pakaian kembang-kembang, begitu penuh aksi mengalahkan pemuda-pemuda remaja, dan kalian hendak mematahkan lengan anak kecil. Sungguh luar biasa sekali, tidak lumrah manusia. Siapakah kalian?"

Dua orang kakek itu saling pandang dengan muka merah. Belum pernah ada manusia sekurang ajar ini terhadap Hwa-i Kai-pang. Kakek kedua yang mukanya hitam melotot dan membentak,

"Bocah kurang ajar! Apakah matamu sudah buta? Engkau berhadapan dengan dua orang tokoh Hwa-i Kai-pang!"

Agaknya kakek ini hendak menggertak dengan menggunakan nama perkumpulannya yang tersohor ditakuti orang.

Akan tetapi, pemuda tinggi besar yang berwajah cerah itu hanya tersenyum, sedikitpun tidak nampak kaget mendengar nama Hwa-i Kai-pang.

"Hemmmm, kalau namanya seperti perkumpulan pengemis, akan tetapi kalau melihat tindakannya, patutnya perkumpulan tukang pukul. Apakah kalian ini pengemis merangkap tukang pukul?"

"Lancang mulut! Kami adalah pembantu pemerintah, menjaga keamanan!" bentak si tahi lalat.

"Menjaga keamanan dengan mematah-matahkan lengan anak kecil?" Hui Song mengejek.

"Anak itu telah menjadi tukang tadah. Jembel muda itu telah mencuri uang sedemikian banyaknya maka dibagi-baginya dan siapa yang menerima pembagiannya berarti tukang tadah barang curian."

"Wah, wah, baru sekarang aku melihat pengemis berlagak menjadi jaksa dan sekaligus hakimnya!"

Tiba-tiba pengemis muda yang tadi membagi-bagi uang, berkata dengan suara nyaring sekali,

"Hayaaa... ceriwis dan cerewet amat sih seperti tiga nenek-nenek tua bertengkar saja. Kenapa tidak genjot saja dan habis perkara?"

Ucapan ini entah ditujukan kepada pihak pengemis ataukah kepada Hui Song, atau kepada ketiganya. Akan tetapi, ucapan itu agaknya mengenai sasaran karena dua orang pengemis itu sudah berteriak marah dan tongkat di tangan mereka bergerak menyerang Hui Song dengan gerakan cepat dan kuat.

"Hemm, kalian adalah orang-orang jahat, tak salah lagi!"

Hui Song berkata sambil mengelak dengan sigapnya, kemudian balas menyerang dengan tamparan-tamparan tangannya. Dua orang kakek itu menangkis dengan tongkat mereka dan Hui Song membiarkan lengannya tertangkis tongkat-tongkat itu.

"Plak! Plak!"

Dua orang kakek pengemis itu terhuyung dan mereka merasa terkejut sekali mendapat kenyataan betapa pemuda itu memiliki kekuatan sin-kang yang amat besar, jauh lebih kuat daripada mereka. Merekapun mendesak lagi dengan permainan tongkat mereka yang cukup hebat. Namun kini Hui Song melayani mereka sambil tersenyum-senyum mengejek.

"Kalian berdua tukang pukul jembel tentu sudah banyak memukul orang, maka biarlah sekarang aku membalaskan mereka yang pernah kau pukul!" Hui Song berkata dan tangan kirinya bergerak secepat kilat, disusul tangan kanannya.

"Takk! Takk!"

Kepala dua orang pengemis itu tak terhindarkan lagi terkena jitakan jari-jari tangannya. Dua orang kakek ini terhuyung dan mengelus kepala mereka yang menjadi benjol-benjol itu sambil meringis kesakitan.

Hui Song memang mempermainkan mereka. Kalau jitakan di kepala tadi dia lakukan dengan pengerahan sin-kang, tentu kepala dua orang itu sudah retak dan mereka akan tewas seketika. Akan tetapi dia hanya menggunakan tenaga biasa saja, cukup membuat kepala yang dilindungi itu menjadi benjol sebesar telur ayam.

Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: