*

*

Ads

Rabu, 17 Januari 2018

Asmara Berdarah Jilid 023

"Tenanglah saja, sri baginda!"

Terdengar suara di belakangnya. Kaisar Ceng Tek cepat menengok dan ternyata di sebelah belakang perahunya terdapat tiga buah perahu lain yang masing-masing didayung oleh dua orang laki-laki tegap dan nampak gagah. Ternyata yang berusaha menculiknya ada empat perahu dengan delapan orang, tidak termasuk dua orang kakek yang sedang bertanding melawan dua orang bercaping itu.

Kaisar Ceng Tek bukanlah seorang anak kecil. Dia tahu bahwa dirinya sudah berada dalam kekuasaan para penculiknya. Tidak ada jalan meloloskan diri karena mereka itu sudah mengenal siapa dia. Untuk berteriak-teriak, selain belum tentu akan ada yang berani menolong, juga betapa mudahnya bagi para penculiknya itu untuk membunuhnya kalau mereka kehendaki.

Jalan satu-satunya hanyalah menyerah saja sambil melihat bagaimana perkembangannya. Dia juga tahu bahwa mereka tentu tidak berniat membunuhnya, karena kalau demikian halnya, perlu apa mereka itu bersusah-susah hendak menawannya? Tidak nampak ada petugas jaga di tempat itu, maka tidak ada yang diharapkannya untuk dapat menolongnya dari orang-orang ini.

Kini perahu sang kaisar telah ditarik ke pinggir telaga dan dua orang meloncat ke dalam perahu kecil itu.

"Harap paduka menyerah saja dan menurut kehendak kami daripada paduka harus dipaksa dengan kekerasan," kata seorang diantara mereka yang tertua, berusia lima puluh tahun lebih dan memegang pedang. "Mari kita mendarat."

Kaisar Ceng Tek mengangkat bahu, bersikap tenang biarpun jantungnya berdebar penuh ketegangan, bahkan ada sedikit kegembiraan karena petualangannya ini sungguh amat menarik, lalu diapun melangkah keluar dari perahu dan mendarat. Akan tetapi, pada saat delapan orang itu mendarat semua, tiba-tiba terdengar suara bentakan nyaring.

"Tikus-tikus bosan hidup!" tiba-tiba saja, seperti setan, muncul seorang wanita yang mukanya berkedok hitam tipis, menyembunyikan bentuk mukanya dan yang tampak hanya sepasang mata yang liar, hidung kecil dan mulut lebar yang giginya besar-besar putih.

Begitu muncul, tangan kirinya bergerak dan sinar-sinar halus menyambar ke arah orang-orang Kang-jiu-pang itu.

"Awas senjata rahasia!" teriak orang tertua.

Para anggauta Kang-jiu-pang yang rata-rata memiliki kepandaian cukup tinggi itu cepat berloncatan mengelak. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara ketawa mengejek.

"Ha-ha-ha, orang-orang Kang-jiu-pang hendak berlagak!"

Dan muncul pula seorang kakek tinggi besar bermuka hitam kasar dan penuh brewok. Kakek ini memegang sebatang pecut baja yang panjang dan pada ujungnya terdapat paku besar. Mata kakek ini bulat, hidungnya besar dan mulutnya lebar. Pakaiannya jorok dan kotor.

Melihat munculnya dua orang ini, delapan orang Kang-jiu-pang terkejut bukan main. Mereka segera mengenal kakek Koai-pian Hek-mo dan nenek Hwa-hwa Kui-bo, dua orang datuk kaum sesat di muara Huang-ho dan mereka juga merasa heran karena tidak biasa dua orang datuk sesat ini turun tangan mengacaukan dunia.

"Ji-wi locianpwe, harap jangan mencampuri urusan dalam Kang-jiu-pang. Urusan ini tidak ada sangkut-pautnya dengan ji-wi atau dengan golongan ji-wi!" kata orang tertua dari Kang-jiu-pang dengan sikap hormat untuk menghindarkan bentrokan dengan dua orang datuk kaum sesat ini.

Dan memang, mereka sedang melaksanakan tugas yang tidak ada hubungannya dengan golongan manapun, sehingga tidak perlu menimbulkan perkelahian yang hanya akan menghalangi pekerjaan mereka.

"Ha-ha-ha!" Koai-pian Hek-mo tertawa mengejek, sehingga nampak giginya yang kuning kotor. "Kalian hendak menculik kaisar dan masih bilang urusan dalam? Ha-ha, kami memang tidak ada sangkut-pautnya, akan tetapi Liu-thaikam tentu tidak akan membiarkan begitu saja!"

Mendengar ucapan ini, terkejutlah orang-orang Kang-jiu-pang itu. Kiranya Liu-thaikam sudah bertindak sedemikian jauhnya sehingga berani mempergunakan datuk-datuk kaum sesat untuk menjadi antek-antek dan kaki tangannya! Maka, sambil mengeluarkan seruan marah, para murid Kang-jiu-pang lalu menerjang maju, menyerang kakek dan nenek iblis itu!

Dua orang kakek dan nenek iblis itu tertawa mengejek. Karena orang-orang Kang-jiu-pang itu, sesuai dengan nama perguruannya, sudah melatih kedua tangan mereka yang berwarna gelap, maka mereka biasanya berkelahi mengandalkan kedua tangan itu.

Melihat ini, Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo yang mempertahankan gengsi mereka sebagai datuk kaum sesat, tidak mempergunakan senjata mereka. Nenek itu tidak mencabut pedangnya, dan Koai-pian Hek-mo malah menyimpan cambuk bajanya dan mereka menyambut serangan tujuh orang murid Kang-jiu-pang dengan tangan kosong pula.

Para murid Kang-jiu-pang memiliki sepasang tangan yang terlatih, kuat dan antep pukulan mereka. Akan tetapi sekali ini mereka menghadapi dua orang lawan yang memiliki tingkat kepandaian jauh lebih tinggi, maka biarpun tujuh orang mengeroyok dua orang, tetap saja para murid Kang-jiu-pang itu kewalahan dan beberapa orang diantara mereka sudah beberapa kali jatuh bangun terkena serempetan tangan atau kaki dua orang iblis itu.

Adapun murid tertua yang tadi menjadi wakil pembicara, tidak ikut mengeroyok, melainkan dengan pedang di tangan menjaga sang kaisar yang menonton dengan heran dan kagum. Dia merasa heran mengapa orang-orang yang kelihatannya seperti pendekar-pendekar gagah menculiknya, dan kini dua orang yang seperti iblis jahat malah melindunginya, dan dia kagum melihat kelihaian dua orang iblis itu.






Murid Kang-jiu-pang yang menjaga kaisar melihat kenyataan betapa para sutenya tidak akan menang menghadapi dua orang datuk kaum sesat itu. Dia adalah seorang yang cerdik. Begitu mendengar bahwa mereka berdua itu adalah kaki tangan Liu-thaikam, diapun maklum bahwa tentu saja mereka berusaha mati-matian melindungi kaisar. Kalau terjadi apa-apa dengan kaisar hal itu berarti akan amat merugikan thaikam itu, bahkan mungkin akan meruntuhkan kekuasaannya yang hanya sementara itu.

"Berhenti, atau kubunuh kaisar...!"

Tiba-tiba dia membentak dan menodongkan pedangnya yang ditempel pada leher kaisar muda itu. Sang kaisar hanya terbelalak dan pucat karena kedua pergelangan tangannya sudah ditangkap oleh tangan kiri murid Kang-jiu-pang itu sedangkan lehernya ditempeli pedang yang tajam. Tak mungkin melepaskan diri dari cengkeraman tangan kiri yang amat kuat itu.

Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo terkejut dan mereka terpaksa meloncat mundur dan dengan mata terbelalak kehabisan akal mereka melihat betapa kaisar telah ditodong oleh seorang murid Kang-jiu-pang. Nekat menyerbu akan membahayakan nyawa kaisar dan kalau sampai terjadi sesuatu menimpa kaisar, mereka takut akan kemarahan Iblis Buta.

Akan tetapi pada saat itu murid Kang-jiu-pang yang menodong kaisar tiba-tiba mengeluh dan terguling pingsan, pedangnya terlepas dari pegangan. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu muncul seorang pemuda yang tadi melemparkan sebuah batu kerikil kecil yang tepat mengenai tengkuk murid Kang-jiu-pang dan membuatnya roboh pingsan itu dan pemuda ini sekarang berdiri di dekat kaisar dengan sikap hormat dan berkata lembut,

"Harap paduka jangan khawatir, sri baginda."

Melihat betapa kaisar telah terlepas dari ancaman bahaya, Koai-pian Hek-mo dan Hwa-hwa Kui-bo menjadi girang sekali, dan mereka juga marah kepada para murid Kang-jiu-pang yang tadi sudah membuat mereka terkejut dan bingung. Keduanya lalu mencabut senjata masing-masing lalu mengamuk.

Kasihan para murid Kang-jiu-pang itu. Melawan dua orang iblis ini dalam keadaan tangan kosong saja mereka sudah kewalahan, apalagi harus melawan mereka yang menggunakan senjata keistimewaan mereka. Koai-pian Hek-mo menggerakkan cambuk bajanya yang berujung paku itu dan dalam waktu belasan jurus saja empat orang pengeroyok roboh dan tewas dengan kepala berlubang tertusuk paku.

Juga Hwa-hwa Kui-bo mengamuk dan tiga orang pengeroyok lainnya tewas oleh bacokan dan tusukan pedangnya. Nenek ini merasa tidak puas karena dalam perkelahian ini, korbannya kalah banyak oleh Koai-pian Hek-mo, maka tangan kirinya bergerak dan belasan batang jarum beracun meluncur dan menancap ke leher dan dada murid Kang-jiu-pang yang masih pingsan, yaitu yang tadi menodong kaisar dan dirobohkan oleh pemuda yang baru datang. Dengan demikian, mereka berdua telah membunuh delapan orang murid Kang-jiu-pang itu, seorang empat!

Kini dua orang kakek dan nenek iblis itu memandang kepada pemuda yang telah menyelamatkan kaisar dan keduanya tertegun kagum. Seorang pemuda yang tampan dan ganteng! Karena dua orang ini memang memiliki watak cabul dan keduanya suka kepada pemuda ganteng, maka wajah mereka berseri dan nenek berkedok itu tersenyum-senyum, mulutnya yang lebar terbuka dan nampaklah deretan gigi putih yang besar-besar.

Pemuda itu memang ganteng. Tubuhnya tinggi besar dan tegap, dengan dada bidang dan pinggang kecil, tubuh yang membayangkan kekuatan dahsyat, wajahnya yang tampan itu berseri dan cerah, agaknya gembira selalu. Bibirnya yang berbentuk bagus dan gagah itu selalu tersenyum dan sepasang mata yang jernih dan tajam itupun selalu berseri gembira.

Akan tetapi pakaian pemuda ini sembarangan saja, kedodoran dan agaknya dia jauh daripada pesolek. Biarpun pakaiannya sederhana kedodoran, namun pakaian itu tidak dapat menyembunyikan tubuhnya yang padat berisi dan kuat. Pemuda berusia dua puluh satu tahun ini memang amat menarik, merupakan seorang pemuda tampan gagah yang agaknya selalu bergembira.

Ketika tadi dia menyelamatkan kaisar dan melihat betapa sepasang iblis itu membunuhi delapan orang musuh, dia hanya mengerutkan alisnya yang hitam tebal tanpa menghilangkan senyumnya. Dia hanya berkewajiban menyelamatkan kaisar, dan urusan antara delapan orang itu dengan dua iblis ini bukanlah urusannya dan dia tidak ingin mencampuri.

Pada saat itu, dua orang pengawal rahasia kaisar, yaitu dua orang perwira yang tadi menyamar sebagai dua orang tukang pancing kemudian diserang oleh dua orang tokoh Kang-jiu-pang yang menyamar sebagai dua orang seniman, datang berlarian dengan pakaian basah kuyup. Mereka kelihatan gembira sekali melihat kaisar dalam keadaan selamat dan mereka berdua lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki kaisar.

"Hamba berdua menghaturkan selamat kepada paduka yang telah terbebas dari ancaman bahaya berkat pertolongan orang-orang gagah ini," kata seorang diantara mereka.

Kaisar Ceng Tek merasa jengkel melihat penyamarannya dikenal orang. Rahasianya telah terbuka dan tidak ada gunanya lagi berpura-pura, maka diapun mengerutkan alisnya bertanya,

"Kalian siapa?"

"Hamba berdua adalah perwira pengawal yang diutus oleh Liu-taijin untuk melindungi paduka. Ampunkan, hamba yang hampir gagal melindungi paduka."

"Sudahlah, ceritakan apa yang telah terjadi!" kata kaisar tak sabar.

"Hamba berdua menyamar sebagai tukang-tukang pancing melindungi paduka. Tiba-tiba ada dua orang, agaknya tokoh-tokoh yang menyamar pula, menabrakkan perahunya kepada perahu hamba dan terjadilah perkelahian. Ternyata mereka berdua itu hanya menghalangi hamba berdua agar tidak dapat mencegah ketika kawan-kawan mereka menculik paduka dan menarik perahu paduka. Hamba berdua melawan mati-matian sampai perahu kami semua terguling. Mereka lalu melarikan diri sambil berenang ketika melihat betapa usaha kawan-kawan mereka gagal. Dan hamba berdua sempat menyaksikan betapa paduka diselamatkan oleh tiga orang gagah ini."

Kaisar ini menghadapi kakek dan nenek itu dan diam-diam hatinya bergidik. Dua orang ini seperti iblis saja.

"Siapakah kalian?" tanyanya singkat.

Biarpun dua orang itu adalah datuk-datuk kaum sesat yang biasanya bersikap tidak acuh dan tidak memperdulikan sopan santun, kini setelah mereka tahu bahwa mereka berhadapan dengan kaisar, keduanya merasa canggung dan juga gentar.

Mereka saling pandang, merasa tidak enak kalau harus memperkenalkan julukan mereka yang menyeramkan. Apaiagi nenek itu, merasa tidak sanggup untuk menjawab dan dengan pandang matanya di balik kedok, ia menyerahkan saja jawabannya kepada rekannya! Hampir saja Koai-pian Hek-mo memaki melihat kelicikan nenek itu, akan tetapi dia tidak berani sembrono lalu menjura.

"Kami berdua ingin membantu usaha Liu-thaikam yang hendak melindungi paduka dan mereka ini adalah orang-orang Kang-jiu-pang yang memberontak. Kami berdua sekarang juga akan menyerbu ke sarang Kang-jiu-pang dan akan kami basmi sampai habis semua anggautanya!"

Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: