*

*

Ads

Kamis, 25 Januari 2018

Asmara Berdaah Jilid 048

Sui Cin menahan senyum dan mengerling ke arah wajah pemuda itu, akan tetapi Hui Song tidak sedang bergurau melainkan memandang ke arah perkelahian dengan wajah serius dan tegang. Bagaimanapun juga, memang Sui Cin benar. Terlalu sembrono menghadapi dua lawan tangguh yang bersenjata panjang itu dengan tangan kosong.

"Haaaiiiittt...!"

Tiba-tiba Siang Wi memekik, tangan kanan memukul gagang tombak lawan yang menyerang dari kanan sedangkan kaki kiri mendahului lawan kedua, menendang kearah dada.

"Bukk... plakkk!"

Lawan pertama terpental goloknya sedangkan lawan kedua tidak mampu menghindar. Serangan atau gerakan Siang Wi memang hebat, seperti seekor burung rajawali mementang sayap, kedua lengannya berkembang dan kaki kirinya menendang ke depan selagi tubuhnya masih melayang. Orang yang kena tendang dadanya itu terbanting roboh dan sebelum orang kedua hilang kagetnya, kaki kanan menggantikan kaki kiri yang turun untuk menyambar ke depan.

"Desss...!" Orang kedua juga terbanting karena perutnya dicium ujung sepatu Siang Wi.

Dua orang itu meringis kesakitan dan merayap bangun, sementara itu Huang-ho Lo-eng yang melihat betapa dua orang muridnya dirobohkan seorang gadis muda, mukanya berobah merah sekali. Dia sudah bangkit berdiri, mengebutkan ujung jubahnya dan melangkah maju menghampiri Siang Wi.

Akan tetapi sebelum guru dan dua orang muridnya ini sempat bicara atau bergerak, tiba-tiba muncul seorang pemuda tampan yang segera menghadapi tiga orang itu sambil menjura.

"Sam-wi-eng-hiong, saya mewakili tuan rumah menyampaikan permohonan maaf, harap sam-wi menyudahi urusan ini sampai disini agar tidak mengganggu jalannya pesta."

Kemudian pemuda itu membalik dan menghadapi Siang Wi sambil menjura pula,
"Nona, harap suka mundur dan mengakhiri keributan ini."

Tanpa setahu orang, pemuda itu berkedip. Sejenak Siang Wi terbelalak. Tentu saja dia mengenal suhengnya! Akan tetapi sebeium dia menegur, Hui Song mengedipkan mata, dan Siang Wi yang cukup cerdik itu maklum bahwa suhengnya tidak ingin dikenal orang. Maka iapun mengangguk dan kembali ke mejanya, menggantung kembali siang-kiamnya di punggung dan duduk tenang, bersikap seperti tidak pernah terjadi apa-apa.

Tentu saja Huang-ho Lo-eng masih penasaran. Dua orang muridnya dirobohkan seorang anak perempuan di tempat pesta, hal ini sungguh amat menyakitkan hati dan menjatuhkan pula martabat dan nama besarnya, maka dia harus turun tangan membersihkan noda itu. Akan tetapi, kini muncul pemuda yang mewakili tuan rumah minta agar keributan jangan dilanjutkan. Selagi kakek ini merasa serba salah, tiba-tiba terdengar seruan di luar.

"Paduka Jenderal Ciang telah tiba...!"

Mendengar ini, semua orang menengok keluar dan Ang-kauwsu sendiri bersama beberapa orang penyambut bergegas lari keluar untuk menyambut datangnya tamu agung ini. Seorang jenderal adalah seorang perwira yang berpangkat tinggi, apalagi datang dari kota raja, maka tentu saja merupakan seorang tamu agung yang paling terhormat.

Hui Song dan Sui Cin sudah duduk kembali dan mereka berdua menandang penuh kewaspadaan. Seperti sudah mereka rencanakan ketika keduanya pergi menghadap Jenderal Ciang, mereka berdua bersama belasan orang pengawal pilihan menyelundup ke tempat pesta dan akan berjaga-jaga kalau ada orang melakukan serangan gelap.

Sementara itu sang jenderal sendiri datang dikawal enam orang pengawal pilihan yang dipercaya. Agaknya belum puas dengan semua ini, Jenderal Ciang juga mengenakan lapisan baja di balik baju kebesarannya sehingga tubuhnya akan kebal terhadap serangan senjata tajam.

Saat yang sudah dinanti-nantikan banyak orang ini tiba! Tentu saja terjadi ketegangan hebat di dalam dada mereka yang memiliki kepentingan dengan kedatangan jenderal ini.

Seperti telah mereka sepakati, Sui Cin memasang mata memandang ke kiri dan Hui Song ke kanan, siap untuk turun tangan kalau melihat orang yang hendak melakukan serangan gelap kepada jenderal itu. Tadipun mereka sudah memasang mata mencari-cari, akan tetapi mereka tidak melihat adanya tokoh-tokoh Cap-sha-kui yang mereka kenal, walaupun ada beberapa orang dari Hwa-i Kai-pang mereka lihat menyelinap dalam pakaian biasa atau menyamar sebagai orang biasa, bukan pengemis. Mereka merasa yakin bahwa diantara banyak tamu itu terdapat tokoh-tokoh kaum sesat yang lihai.






Akan tetapi, tidak terjadi sesuatu ketika jenderal itu datang sampai diantar oleh tuan rumah menuju ke kursi kehormatan di panggung yang agak tinggi. Sementara itu, Siang Wi yang tadi memandang ke arah suhengnya, merasa heran dan alisnya berkerut ketika ia melihat suhengnya berbisik-bisik dengan seorang gadis yang cantik jelita!

Mereka berbisik-bisik demikian akrabnya dan perasaan tidak senang memenuhi hati gadis yang jatuh cinta ini. Perasaan cemburu membakar dadanya dan biarpun tadi ia mengerti akan isyarat suhengnya dan iapun berdiam diri, kini perasaan cemburu membuat ia cepat bangkit berdiri, meninggalkan teman-teman semeja dan langsung saja menghampiri Hui Song dan Sui Cin yang duduk di sudut, di belakang tiang.

"Suheng, siapakah ia ini?" tanyanya menuding ke arah muka Sui Cin dengan alis berkerut dan mulut cemberut mata menantang.

"Ssttt... diamlah, sumoi..." Hui Song berbisik kaget, lalu menarik tangan sumoinya sehingga gadis itu terduduk di kursi kosong dekatnya. "Kau ikut menjaga keselamatan jenderal itu, jangan banyak tanya..."

"Tapi... tapi siapa perempuan ini...?"

Siang Wi masih berbisik dan matanya mengerling ke arah Sui Cin dengan wajah membayangkan ketidak puasan.

"Diam kau, cerewet!"

Sui Cin balas menghardik dengan suara berbisik. Siang Wi terkejut setengah mati dan mukanya menjadi pucat lalu merah seperti dibakar. Hatinya panas mendengar ada orang berani bersikap seperti itu menghardiknya dengan kasar. Tentu saja ia hendak membalas akan tetapi pada saat itu terdengar ledakan-ledakan keras dan apipun berkobar!

"Kebakaran! Kebakaran...!"

Para tamu menjadi panik dan semua orang bangkit berdiri, ada yang mulai lari ke sana-sini, berdesak-desakan dan keadaan menjadi semakin kacau-balau ketika terjadi perkelahian di sana-sini.

Sui Cin dan Hui Song sudah meloncat ke tengah, mendekati Jenderal Chiang. Ternyata para pengawal sudah mulai berkelahi melawan beberapa orang diantara tamu dan kini dari luar bermunculan tokoh-tokoh Cap-sha-kui!

Sui Cin mengenal Koai-pian Hek-mo, Hwa-hwa Kui-bo, Kiu-bwee Coa-li, Kui-kok Lo-mo, Kui-kok Lo-bo dan Tho-tee-kwi. Mereka ini tadi menerjang maju seperti berlomba hendak membunuh Jenderal Ciang.

Akan tetapi para pengawal, baik yang enam orang maupun yang belasan orang yang penyamar, menyambut mereka. Betapapun juga, saking lihainya para penyerang, masih ada senjata rahasia menyambar dan mengenai dada sang jenderal, akan tetapi karena pembesar itu memakai perisai di balik bajunya, senjata itu mental kembali. Sebelum para penyerang yang jumlahnya ada dua puluh orang itu dapat mengepung sang jenderal, Hui Song, Sui Cin dan diikuti pula oleh Siang Wi sudah tiba di situ.

Hui Song dan Sui Cin yang bertangan kosong mengamuk melindungi Jenderal Ciang yang juga sudah mencabut pedang panjangnya.

"Goanswe, mari keluar!" Hui Song berteriak sambil menggandeng tangan jenderal itu dengan tangan kirinya. "Sui Cin, engkau di sebelah kirinya." Dara itupun menggamit tangan kiri jenderal itu dengan tangan kanannya.

"Sumoi, kau lindungi kami keluar!" teriak pula Hui Song kepada sumoinya.

Siang Wi tidak tahu apa yang terjadi, akan tetapi dengan patuh ia mentaati perintah suhengnya. Ia mencabut sepasang pedangnya melindungi mereka berdua yang berusaha untuk membawa Jenderal Ciang keluar dari tempat itu.

Akan tetapi, Huang-ho Lo-eng sudah meloncat menghadapi Siang Wi.
"Hemm, bocah sombong, sekarang tiba saatnya aku membalas kekalahan dua muridku!" katanya dan kakek ini menerjang ke depan.

Melihat ini, Hui Song menjadi marah. Kakek ini tidak perduli akan keributan dan hanya mengingat keperluan sendiri saja, keperluan dendam! Demikian pula Sui Cin juga marah melihat lagak kakek ini. Mereka berdua seperti telah bersepakat saja, tiba-tiba menerjang maju dan menampar ke arah Huang-ho Lo-eng.

Kakek itu terkejut ketika merasa ada angin menyambar dari kanan kiri, maklum bahwa dia diserang oleh dua orang secara hebat sekali.

"Uhhhh!" Dia mengerahkan tenaga ke dalam dua lengannya dan menangkis sambil mendorong.

"Desss...!"

Akibatnya, tubuh kakek itu terjengkang dan menimpa meja kursi. Dia memandang dengan bengong, melongo melihat bahwa yang merobohkan dia adalah seorang pemuda dan seorang gadis lain yang kini kembali menggamit Jenderal Ciang untuk keluar, dilindungi oleh Siang Wi yang memutar sepasang pedangnya.

Beberapa orang penjahat, agaknya anggauta Hek-i Kai-pang karena diantaranya terdapat Bhe Hok si gendut, hendak mencegah Hui Song membawa jenderal itu keluar. Siang Wi menyerang mereka dan dara inipun dikeroyok.

Maklum akan besarnya bahaya bagi sang jenderal kalau tidak cepat-cepat keluar, Hui Song dan Sui Cin cepat menarik tangan jenderal itu menyelinap diantara banyak orang, menangkis semua serangan dan akhirnya merekapun berhasil keluar. Setelah tiba di luar, Jenderal Ciang mengeluarkan terompet dan ditiupnya terompet itu berkali-kali.

Bagaikan datangnya air bah, bermunculanlah barisan pendam yang memang sudah sejak tadi dipasang oleh jenderal yang berpengalaman itu di sekeliling tempat itu dan tempat itupun sudah terkurung rapat!

Jenderal Ciang dengan dikawal oleh Hui Song dan Sui Cin, kini berdiri di atas batu besar, berteriak dengan suara lantang,

"Hentikan semua perkelahian di dalam! Semua penyerbu agar menyerah!"

Akan tetapi, para penjahat yang tadi menyerbu dan hendak membunuh jenderal itu, malah semakin mengamuk karena mereka merasa penasaran sekali bahwa rencana yang sudah mereka atur dengan rapi itu menemui kegagalan. Dan karena tempat itu penuh dengan orang-orang dunia persilatan, maka begitu terjadi pertempuran, orang-orang itupun banyak pula yang terseret dan berkelahi sendiri!

Tentu saja orang-orang dari golongan sesat membantu rekan-rekan mereka tanpa mereka ketahui sebab-sebab perkelahian, dan orang-orang yang merasa dirinya pendekar atau yang menentang kaum sesat segera pula melawan mereka. Hal ini membuat tokoh-tokoh lihai seperti Cap-sha-kui itu memperoleh kesempatan banyak untuk merobohkan dan membunuh orang.

"Kalian sudah dikepung ratusan orang pasukan! Kalau tidak menyerah dan melempar senjata, akan diambil tindakan kekerasan!" Kembali terdengar suara jenderal itu.

Ketika para tokoh sesat yang mengamuk di dalam itu tidak mau juga mentaati perintahnya, Jenderal Ciang lalu mengeluarkan aba-aba memerintahkan pasukannya menyerbu ke dalam.

Hui Song, Sui Cin, dan Siang Wi juga ikut menyerbu bersama pasukan karena Hui Song ingin menangkap hidup-hidup beberapa orang tokoh sesat untuk dijadikan saksi tentang pengkhianatan Liu Kim atau Liu-thaikam.

Ketika para perajurit menyerbu, suasana menjadi semakin kacau dan geger. Dan pada saat itu, terdengar suara melengking panjang dari luar tempat pesta yang berobah menjadi tempat pertempuran itu. Suara lengkingan panjang dari luar ini disusul oleh ledakan-ledakan benda yang dilempar dari luar. Begitu meledak, benda-benda yang dilempar dari luar itu mengeluarkan asap hitam yang tebal sehingga suasana menjadi semakin kacau.

"Cepat lolos dari atas...!"

Terdengar teriakan suara yang nyaring, mengatasi suara kegaduhan itu. Mendengar seruan ini, enam orang tokoh Cap-sha-kui berloncatan naik ke atas atap yang sudah dibuka dari atas.

Asmara Berdarah







Tidak ada komentar: