*

*

Ads

Kamis, 10 Agustus 2017

Pendekar Sadis Jilid 176

"Gouw Gwat Leng, lupakah engkau betapa ayahku sampai hidup terlunta-lunta, menjadi buronan dan selama hidupnya bersembunyi sampai mati, hanya karena engkau? Mendiang ibuku bercerita bahwa engkaulah yang menyebabkan ayah tidak berani muncul di dunia ramai, engkau dan bendera sialan itu. Ayah boleh jadi terlalu bodoh untuk merasa jerih menghadapi engkau dan bendera terkutuk itu, akan tetapi aku, anaknya, tidak! Aku yang akan membalaskan kematian dan menebus kesengsaraan ayah kepadamu, dan menghancurkan bendera terkutuk itu!"

"Siancai... akhirnya tiba juga saat yang kunanti-nantikan! Anak baik, engkau hendak berbakti secara sesat kepada ayahmu. Ayahmu sendiri takut kepadaku karena menghormati bendera dan karena tahu diri, sekarang engkau hendak melawanku? Sungguh engkau telah murtad terhadap bendera pusaka nenek moyang perguruanmu sendiri, dan engkau tidak tahu diri berani melawan supekmu!"

"Tak usah banyak cerewet, bersiaplah untuk menyusul ayah dan ibu!"

Setelah berkata demikian, Toan Kim Hong sudah mencabut sepasang pedang hitamnya dan menyerang dengan sengit.

"Trang-tranggg...!" Gagang bendera itu telah menangkis sepasang pedang.

"Aihhh, aku telah mendengar bahwa ayah ibumu dalam persembunyiannya menciptakan Hok-mo Sin-kun! Apakah ini yang namanya Hok-mo Siang-kiam?"

Akan tetapi Kim Hong sudah tidak mempedulikan lagi dan menyerang terus, menggunakan jurus-jurus terampuh dari ilmu pedangnya. Dan ternyata kakek itu, biarpun kelihatan sudah tua dan lemah, ternyata masih hebat! Gerakannya begitu ringan seperti kapas terbawa angin. Seolah-olah tubuhnya sudah terdorong oleh angin sambaran pedang lawan sehingga tanpa mengelak pedang itu tidak mengenai sasaran!

Dan benderanya bergerak-gerak, berkibar-kibar, namun bukan sembarangan berkibar karena bendera tua itu berkelebat menggelapkan pandangan dan ujung gagangnya yang tumpul menjadi alat penotok yang ampuh, sedangkan mata anak panah yang menjadi gagang bendera itupun menyambar-nyambar seperti patuk seekor rajawali!

Biarpun Kim Hong bergerak cepat dan mengerahkan tenaga, namun Thian Sin dapat melihat bahwa memang kakek itu memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi tingkatannya sehingga dengan mudah kakek itu dapat menghalau semua serangan Kim Hong tanpa banyak kesukaran, sebaliknya setiap serangan balasan kakek itu agaknya memang tepat sehingga membuat Kim Hong kewalahan dan sibuk menyelamatkan diri.

"Jit Goat Tosu, sungguh tak patut yang tua menghina yang muda, dan aku sudah menjanjikan bantuan kepada Kim Hong!"

Berkata demikian, Thian Sin sudah meloncat ke depan sambil mengelebatkan Gin-hwa-kiam sehingga nampak sinar perak menyambar ganas.

"Tranggggg...!"

Tangkisan anak panah yang menjadi gagang bendera terhadap Gin-hwa-kiam itu membuat Si Kakek terdorong ke belakang, akan tetapi juga Thian Sin terdorong mundur. Keduanya terkejut dan kakek itu sejenak memandang kepada pemuda itu.

"Toan Kim Hong! Siapakah pemuda yang membantumu ini?"






Pertanyaan ini lebih menyerupai bentakan dan di dalamnya mengandung ancaman maut!

Kim Hong merasa malu kalau harus mengeroyok kakek itu bersama orang lain, maka iapun menyahut lantang,

"Dia adalah Ceng Thian Sin, tunanganku!"

Dengan mengaku pemuda itu sebagai tunangannya yang berarti jodohnya, maka berarti bahwa yang ikut mengeroyok kakek itu "bukan orang luar". Dan memang pendapatnya ini tepat sekali. Kakek itu tertawa.

"Ha-ha-ha, pantas...! Dia tampan dan gagah, ilmunya hebat. Hayo anak-anak, hayo kita latihan dan lihatlah kehebatan ilmu dari nenek moyang perguruanmu!"

Setelah berkata demikian kakek itu menggerakkan anak panah bendera itu dan sekaligus gerakan ini menyerang Thian Sin dan Kim Hong secara bertubi-tubi. Dua orang muda itu kaget dan juga heran bagaimana senjata kecil seperti itu dapat bergerak sedemikian anehnya dan setiap gerakan merupakan serangan maut yang berbahaya sekali.

Tentu keduanya sudah menggerakkan pedang untuk menangkis dan balas menyerang. Kim Hong sudah mainkan Hok-mo Siang-kiam-sut dan sepasang pedangnya yang hitam itu berubah menjadi dua sinar hitam bergulung-gulung amat menyeramkan, diiringi angin dingin yang mengeluarkan suara bercuitan. Tubuhnya sendiri lenyap terbungkus dua gulungan sinar hitam ini dan kadang-kadang ada sinar hitam mencuat dari dua gulungan itu, menyambar ke arah tubuh kakek kecil kurus.

Thian Sin juga memutar pedangnya dengan cepat, dan selain sambaran pedangnya yang berubah menjadi gulungan sinar perak mengimbangi dua gulungan sinar hitam itu, saling membantu, juga tangan kirinya diam-diam melancarkan pukulan-pukulan Pek-in-ciang yang dipelajarinya dari pendekar sakti Yap Kun Liong di Bwe-hoa-san. Tangan kirinya itu mengepulkan uap putih ketika dia mempergunakan ilmu pukulan ampuh itu. Melihat kehebatan kedua orang muda ini, berkali-kali kakek itu mengeluarkan seruan kagum dan kaget.

Akan tetapi kakek tua renta itu memang hebat sekali ilmu kepandaiannya. Dia telah memiliki kematangan yang sempurna, ilmu silatnya telah mendarah daging dan berkat latihan samadhi yang tak kunjung henti, dia telah menghimpun kekuatan dalam yang luar biasa sekali, tidak lumrah dimiliki manusia.

Tubuhnya, jasmaninya memang nampak lemah, akan tetapi, kekuatan sakti yang tersembunyi di tubuhnya bangkit semua dan telah terhimpun sin-kang yang mencapai puncaknya. Gerakan anak panah berikut bendera tua itu aneh sekali, akan tetapi kemanapun senjata ini bergerak, selalu tentu dapat menahan senjata lawan dan begitu terbentur, langsung saja anak panah itu menyambar dan mengirim serangan balasan yang tidak kalah lihainya daripada serangan lawan. Biarpun dikeroyok dua, kakek itu sama sekali tidak pernah terdesak, bahkan dia seolah-olah telah menguasai ilmu lawan.

Padahal, ilmu yang dikeluarkan oleh dua orang muda itu adalah ilmu-ilmu yang belum dikenalnya, akan tetapi kematangannya dalam ilmu silat membuat dia dapat melihat intinya dan karenanya gerakan dua orang muda itu tidak mengejutkan hatinya, hanya membuatnya kagum bukan main.

"Bagus sekali ilmu pedang kalian, mari kita berlatih dengan tangan kosong!"

Setelah berkata demikian, kakek itu menyelipkan anak panah itu di pinggangnya dan menghadapi mereka dengan kedua tangan kosong saja.

Melihat ini, Thian Sin otomatis menyimpan pedangnya, dan melihat sikap pemuda ini, Kim Hong juga menyimpan sepasang pedang hitamnya!

Diam-diam gadis ini merasa heran sendiri. Ia datang untuk membunuh kakek ini, akan tetapi kenapa sekarang ia menghadapi kakek itu seperti supeknya sendiri mengajaknya berlatih saja?

Sebetulnya bukanlah demikian. Seperti juga yang dirasakan oleh Thian Sin, Kim Hong merasa malu di sudut hatinya bahwa menghadapi seorang kakek tua renta yang kelihatan amat lemah ini ia harus menggunakan pengeroyokan. Dan di samping itu, juga ia merasa kagum bukan main melihat kepandaian kakek ini. Oleh karena itu melihat kakek itu menyimpan senjata, mana mungkin ia ada muka untuk menyerang kakek yang bertangan kosong itu dengan pedang? Hal itu tentu akan memalukan sekali, dan karena inilah maka Thian Sin dan ia sendiri juga menyimpan senjata mereka.

Bagi Thian Sin, ada hal lain yang mendorongnya menyimpan senjata. Sebetulnya, kalau dibuat perbandingan, pemuda ini lebih lihai bertangan kosong daripada mempergunakan senjata. Hal ini adalah karena dia telah mewarisi banyak ilmu kesaktian yang dipergunakan dengan tangan kosong, antara lain seperti Ilmu Pek-in-ciang dari pendekar Yap Kun Liong, lalu Thi-khi-i-beng dari ayah angkatnya, Pendekar Lembah Naga Cia Sin Liong, belum lagi ilmu silat tinggi seperti Thai-kek Sin-kun, San-in-kun-hoat, Pat-hong Sin-kun dan tenaga Thian-te Sin-ciang.

Malah ilmu-ilmu yang diwarisinya dari ayah kandungnya juga ilmu silat tangan kosong yang mengandalkan kaki tangan belaka, seperti Ilmu Hok-liong Sin-ciang dan Hok-te Sin-kun itu. Maka, ketika ditantang untuk bertanding dengan tangan kosong, dengan gembira Thian Sin menyimpan pedangnya yang diturut pula oleh Kim Hong.

Terjadilah pertandingan yang hebat sekali, malah lebih menegangkan daripada ketika mereka mempergunakan senjata tadi. Kalau tadi mereka bertanding dalam jarak agak jauh, kini mereka berkelahi dalam jarak pendek, saling pukul, saling tendang, menangkis dan mengelak dengan kecepatan yang mengagumkan. Kadang-kadang gerakan mereka nampak begitu otomatis seolah-olah tiga tubuh itu telah menjadi satu dan enam batang lengan, enam batang kaki itu digerakkan oleh satu otak saja.

Dan Thian Sin menjadi semakin kagum. Ilmu-ilmu silat tinggi telah dikeluarkannya, akan tetapi dia dan Kim Hong tidak mampu mendesak kakek itu. Bahkan senjata rambut panjang Kim Hong tidak dapat mendesak lawan, malah beberapa kali hampir saja ujung rambut itu terkena cengkeraman kakek itu kalau saja Thian Sin tidak cepat membantunya. Kakek itu mentertawakan Kim Hong dan mengejeknya dengan kata-kata,

"Senjata khas wanita, tapi curang!"

Karena merasa penasaran, setelah lewat hampir seratus jurus belum juga dia mampu mendesak kakek itu, ketika kakek itu menampar ke arah kepalanya, Thian Sin miringkan tubuh, akan tetapi memasang pundaknya sehingga kena ditampar.

"Plakk!"

"Uuhhhhh... apa ini...? Ahh, Thi-khi-i-beng...?"

Kakek itu berseru dan bukan menarik tenaganya malah mengerahkan tenaga sehingga Thian Sin menjadi gelagapan seperti orang yang dimasukkan ke dalam air.

Ilmu itu adalah ilmu menyedot tenaga sin-kang lawan, akan tetapi kakek itu membanjirinya dengan tenaga berlebihan sehingga dia tidak dapat menampungnya dan otomatis Thian Sin mengembalikan tenaga yang membanjir itu dan menghentikan sedotannya! Kakek itu meloncat ke belakang.

"Orang muda, engkau dari Cin-ling-pai?" tanya kakek itu heran.

Biarpun tidak pernah mengenal secara pribadi, agaknya kakek ini pernah mendengar ilmu mujijat dari Cin-ling-pai itu.

"Masih ada hubungan keluarga!" kata Thian Sin akan tetapi hatinya merasa kecewa karena ternyata Thi-khi-i-beng juga tidak ada gunanya terhadap kakek yang hebat ini. "Akan tetapi yang ini bukan dari Cin-ling-pai, terimalah!" Dan Thian Sin sudah berjungkir balik, kemudian, tiba-tiba dia menghantam dari bawah.

Itulah Hok-te Sin-kun yang hebat sekali. Angin pukulan yang dahsyat menyambar dan kakek itu agaknya mengenal ilmu mujijat maka sambil berseru dia memapaki dengan pukulan tangannya.

"Desss...!"

Tubuh kakek itu terlempar dan nyaris terbanting, sedangkan Thian Sin terpaksa harus berjungkir balik beberapa kali karena pertemuan tenaga itu membuat seluruh tubuhnya tergetar.

Wajah kakek itu berubah dan matanya terbelalak.
"Ilmu setan...!" Dia menggerutu, dan ketika Kim Hong dan Thian Sin maju lagi, dia berkata dengan nyaring,

"Tahan!"

"Toan Kim Hong, engkau tidak menghormati bendera pusaka, maka habislah riwayat bendera pusaka perguruan kami, akan tetapi ilmu silatmu juga sudah tidak aseli lagi. dan biarpun salahnya ayahmu sendiri, namun memang aku yang membuat hidup ayahmu menderita. Aku menyesal sekali dan sudah menebus dengan pertapaan, akan tetapi agaknya belum impas kalau belum mati badan tua tak berguna ini. Nah, saksikanlah Supekmu menebus dosa dan membawa bendera pusaka bersama dan lunaslah sudah!"

Tiba-tiba kakek itu mencabut anak panah yang menjadi gagang bendera itu dan sekali menggerakkan anak panah itu, senjata ini amblas memasuki dadanya berikut benderanya dan ujung anak panah itu tembus di punggungnya. Dia terhuyung lalu roboh miring, tak bergerak lagi.

Thian Sin dan Kim Hong merasa terkejut sekali sehingga mereka terkesima dan berdiri bengong memandang kepada tubuh kakek yang sudah tewas itu. Setelah kakek itu tewas barulah terasa menyesal dalam hati mereka.

Kakek ini memiliki ilmu kepandaian yang hebat bukan main, dan kakek ini tadi jelas tidak menghadapi mereka sebagai musuh melainkan sebagai lawan berlatih belaka. Baru sekarang keduanya mengerti bahwa kalau kakek itu menghendaki, tadi kakek itu tentu sudah dapat merobohkan dan menewaskan mereka. Kakek itu telah mengalah! Dan kini kakek itu telah membunuh diri!

Pendekar Sadis







Tidak ada komentar: