*

*

Ads

Sabtu, 13 Mei 2017

Pendekar Sadis Jilid 058

Mendengar kata-kata ini dan melihat sikap kakek yang berdiri tegak dengan agung itu, hati So Cian Ling sudah menjadi gentar dan tunduk. Tak mungkin dia dapat turun tangan membunuh seorang kakek yang begini agung sikapnya dan gagah perkasa. Dia sudah tunduk dan merasa kagum, bahkan mulai merasa malu atas sikapnya dan juga atas perbuatan tiga orang kakek itu membunuhi anjing dan ayam-ayam itu. So Cian Ling ragu-ragu dan bengong, tidak tahu apa yang harus dilakukan atau bahkan dikatakan.

Akan tetapi, kakek ke tiga yang bertahi lalat di dekat hidungnya, agaknya sudah tidak dapat menahan kemarahannya lagi.

"Tua bangka pengecut!" teriaknya dan dia sudah menerjang ke depan dan memukulkan tangan kanannya yang terkepal ke dada Yap Kun Liong.

Tentu saja, sebagai seorang pendekar yang telah memiliki tingkat kepandaian ilmu silat yang amat tinggi, secara otomatis tenaga sin-kang dari pusar telah menjalar ke arah dada yang akan terpukul. Kakek ini amat lihai, bahkan dialah pewaris pertama dari ilmu mujijat Thi-khi-i-beng dari pendiri Cin-ling-pai sehingga kalau dia menghendaki, tentu saja dengan mudah dia dapat menangkis, mengelak atau juga menerima pukulan itu tanpa melukai dirinya.

Akan tetapi, kakek ini sudah mengambil keputusan untuk menghindarkan kekerasan dan menghadapi kekerasan lawan dengan kelembutan dan usaha damai, maka diapun cepat menarik kembali tenaganya dan menerima pukulan itu dengan begitu saja, tanpa disertai tenaga sin-kang yang melindungi tubuhnya.

"Bukkk!"

Pukulan itu keras sekali dan karena tubuh tua itu tidak terlindung sin-kang, maka tubuh Yap Kun Liong terlempar sampai tiga meter jauhnya lalu terbanting ke atas tanah sampai bergulingan!

Sejak tadi, Cia Kong Liang sudah merasa marah bukan main dan hanya karena hormatnya kepada kakek yang menjadi kakak ibunya itu maka dia bertahan diri dan hanya mengintai saja dengan muka berubah merah mendengar betapa kakek itu dihina orang. Akan tetapi ketika dia melihat paman tuanya itu dipukul sampai tunggang langgang dan dia tahu bahwa pamannya itu sama sekali tidak mau mengerahkan tenaga, dia terkejut bukan main.

Pukulan itu bisa mematikan! Akan tetapi pada saat itu, dua orang kakek, yaitu yang bertahi lalat dan yang berjenggot panjang, kakek ke tiga dan ke dua, sudah berloncatan untuk menyerang Yap Kun Liong yang belum bangkit duduk. Dan pada saat itu nampak berkelebat bayangan dua orang yang tahu-tahu sudah tiba di depan Yap Kun Liong dan dua orang pemuda telah menangkis pukulan dua orang kakek itu.

"Plak! Plak!"

Dua orang kakek itu terkejut merasakan betapa kuatnya lengan yang menangkis serangan mereka terhadap Yap Kun Liong sehingga mereka itu cepat meloncat ke belakang sambil memandang dengan penuh selidik.

Kiranya yang muncul dengan cepat dan tak terduga-duga itu adalah dua orang pemuda yang usianya belum ada dua puluh tahun, yang seorang bertubuh tegap berwajah gagah dengan sepasang mata yang penuh wibawa, sedangkan pemuda yang kedua amat tampan dan juga bersikap gagah.

"Hemm, tidakkah kalian malu, memukul orang tua yang sama sekali tidak mau melawan?"






Thian Sin, pemuda yang tampan itu, menudingkan telunjuknya ke arah muka kakek bertahi lalat di dekat hidung.

Mereka itu adalah Han Tiong dan Thian Sin. Biarpun mereka itu berangkat belakangan, namun karena mereka berdua melakukan perjalanan cepat, maka pada pagi itu mereka telah dapat menyusul dan tiba di puncak Bwe-hoa-san dan kebetulan sekali mereka sempat melihat munculnya empat orang musuh yang datang untuk membunuh kakek dan nenek itu!

Begitu melihat Yap Kun Liong dipukul, Han Tiong yang sudah pernah bertemu dengan mereka dan mengenal mereka, cepat meloncat disusul adiknya yang telah dibisiki bahwa kakek itu adalah kakek tirinya, atau ayah tiri ibunya, dan cepat mereka menangkis serangan ke dua itu.

Sementara itu, dengan terheran-heran, Kong Liang juga meloncat keluar, bersama dengan Cia Giok Keng yang juga sudah meloncat keluar. Melihat munculnya mereka itu, dua orang kakek yang tadi ditangkis oleh Han Tiong dan Thian Sin, menjadi marah dan mereka sudah mencabut pedang masing-masing dan menyerang dua orang pemuda yang melindungi kakek yang hendak mereka bunuh itu.

"Bagus, kalian hendak menjadi pembuka jalan ke akhirat bagi kakek dan nenek itu? Mampuslah!" bentak kakek berjenggot panjang sambil menyerang

Han Tiong. Pemuda ini cepat mengelak dan balas menyerang. Juga kakek bertahi lalat telah menusukkan pedangnya ke arah leher Thian Sin yang cepat mengelak.

"Manusia-manusia berwatak iblis!"

Thian Sin berteriak marah sekali dan membalas dengan dahsyat, memukul dengan Thian-te Sin-ciang.

Mula-mula, Yap Kun Liong yang sudah bangkit berdiri tanpa terluka, hanya merasa dadanya agak nyeri, juga isterinya dan Kong Liang, terkejut dan terheran melihat munculnya dua orang pemuda itu, kemudian mereka merasa khawatir sekali melihat betapa dua orang kakek yang memiliki ilmu kepandaian tinggi itu mencabut pedang dan menyerang dua orang pemuda itu untuk kemudian terheran-heran ketika melihat betapa pemuda-pemuda itu dapat mengelak dengan lincahnya dan mereka mengenal pukulan Thian-te Sin-ciang!

Ketika Yap Kun Liong melihat gerakan Han Tiong dan Thian Sin yang berdasarkan ilmu silat Thai-kek Sin-kun, wajahnya berseri-seri dan dia mulai mengenal Han Tiong.

"Eh, bukankah dia itu Han Tiong?" teriaknya sambil menuding ke arah Han Tiong yang masih diserang bertubi-tubi oleh lawannya.

"Benar! Dia itu Han Tiong putera Sin Liong!" kata Cia Giok Keng girang.

Kong Liang juga teringat dan mengenal Han Tiong, maka diapun menjadi girang sekali melihat bahwa seorang diantara dua pemuda itu adalah keponakannya sendiri. Kini mereka bertiga menduga-duga siapa adanya pemuda tampan yang datang bersama Han Tiong. Melihat sepak terjangnya, ternyata dia lebih ganas, jauh bedanya dengan gerakan Han Tiong yang tenang sehingga Yap Kun Liong mengerutkan alisnya. Pemuda itu memiliki pukulan-pukulan yang amat ganas, pikirnya.

Akan tetapi jelas bahwa semua gerakannya menunjukkan bahwa dia adalah murid Cin-ling-pai yang sudah pandai sekali, yaitu memiliki ilmu-ilmu yang amat dikenalnya. Demikian pula dengan Cia Giok Keng dan Kong Liang yang menduga bahwa tentu pemuda itu setidaknya merupakan adik-adik seperguruan dari Han Tiong.

Kini mereka hanya menonton dan tidak merasa khawatir lagi karena ternyata dua orang pemuda itu biarpun bertangan kosong, mampu menghadapi dua orang lawan yang berpedang.

Hanya Kong Liang yang masih mengerutkan alisnya dengan khawatir. Keponakannya itu masih muda dan lawan itu bukan lawan yang ringan. Ingin dia maju membantu, akan tetapi dia tahu bahwa pamannya tidak akan menyukai itu, dan pula dia sendiripun pantang untuk melakukan pengeroyokan.

"Han Tiong, kau mundurlah dan biarkan pamanmu menghadapi iblis itu!" teriaknya.

"Biarlah, Paman Kong Liang, saya masih sanggup menandinginya!" jawab Han Tiong dan mendengar itu, tahulah Thian Sin bahwa pemuda gagah perkasa itu adalah Cia Kong Liang, putera ketua Cin-ling-pai.

Diam-diam dia merasa tidak senang. Paman yang muda dan sebaya itu sombong, terlalu memandang rendah kepada Han Tiong. Maka diapun lalu mengubah gerakannya dan tidak memberi kesempatan lagi kepada lawannya untuk mendesaknya dengan pedang. Dia bergerak lebih cepat daripada gerakan pedang lawan.

Kakek bertahi lalat di dekat hidung itu terkejut bukan main dan dia menjadi bingung karena tubuh lawannya yang muda itu seolah-olah telah berubah menjadi beberapa orang banyaknya, saking cepatnya pemuda itu bergerak.

Tak disangkanya sama sekali bahwa dia akan berhadapan dengan seorang pemuda selihai ini. Dan sebelum dia sempat memperkuat segi pertahanan, tiba-tiba sebuah tamparan yang amat keras mengenai pergelangan tangannya. Padahal pedangnya tadi menyambar dengan ganas dan ternyata pemuda itu menerima pedang itu dengan tangan telanjang, menangkis pedang dan melanjutkan dengan tamparan yang mengenai pergelangan tangannya.

"Plakk!"

Pedang itu terlepas dan terlempar sedangkan kakek itu berteriak kesakitan dan terhuyung ke belakang.

Thian Sin meloncat dan mengirim pukulan maut dengan Thian-te Sin-ciang, akan tetapi tiba-tiba Han Tiong meloncat dan menangkis pukulannya.

"Sin-te, jangan bunuh orang!" Kakak ini membentak dan pukulan Thian Sin pun ditarik kembali.

Pada saat Han Tiong mencegah adiknya ini, kakek berjenggot panjang melihat kesempatan baik dan menusukkan pedangnya ke arah dada Han Tiong pada saat Han Tiong menangkis pukulan maut adiknya itu. Semua orang terkejut melihat ini, dan hampir saja Kong Liang bergerak meloncat, akan tetapi dengan gerakan indah sekali Han Tiong melempar diri ke bawah dan kakinya menyambar.

"Desss!"

Tendangan itu tepat mengenai tangan yang memegang pedang dan pedang itupun terlepas!

Akan tetapi kakek berjenggot itu masih penasaran dan diapun menubruk tubuh Han Tiong yang masih rebah di atas tanah sehabis menendangnya tadi.

"Plakk!"

Tubuh kakek berjenggot panjang itu terpelanting dan kiranya dia telah kena ditampar oleh Thian Sin yang sudah marah sekali.

Hanya karena teringat akan larangan kakaknya, maka tamparan itupun ditujukan kepada pundak kiri kakek itu. Kakek itu bangkit sambil meringis karena tulang pundaknya yang kena tamparan itu patah-patah, sepertl juga kakek yang terpukul pergelangan tangannya itupun kini memegangi pergelangan tangannya yang patah tulangnya.

Tentu saja kakek bertahi lalat dan kakek berjenggot panjang itu tidak mungkin dapat bertempur lagi setelah tulang pergelangan tangan dan tulang pundaknya patah. Kini kakek pertama yang kehilangan telinga kirinya itu maju. Wajahnya agak pucat karena dia sangat terkejut menyaksikan kekalahan dua orang sutenya. Berbeda dengan dua orang kakek pertama tadi, kakek yang buntung telinga kirinya ini bersikap hati-hati.

"Ah, kiranya di sini berkumpul orang-orang muda yang lihai," katanya untuk menutupi rasa kaget dan kecewanya.

"Baiklah, dua orang dari kami telah kalah, akan tetapi bukan berarti bahwa kami semua telah menyerah. Masih ada kami berdua yang belum maju. Nah, siapakah yang akan menghadapi aku?" katanya sambil mencabut pedangnya.

Dari cara dia mencabut pedang dan dari bunyi pedangnya, yang berdesing nyaring sekali ketika dicabut, jelaslah bahwa tingkat kepandaian kakek yang buntung telinga kirinya ini lebih tinggi dibandingkan dengan dua orang kakek tadi. Melihat ini, Kong Liang menjadi khawatir akan keselamatan keponakannya, maka dia sudah meloncat ke depan dan memegang lengan Han Tiong.

"Han Tiong, kau mundurlah. Kakek ini lawanku!"

"Paman," kata Han Tiong yang memberi isyarat kepada Thian Sin untuk mundur pula.

Karena keadaan, maka Han Tiong belum sempat banyak bicara dengan kakek dan nenek itu, hanya memberi hormat sambil berlutut yang diturut pula oleh Thian Sin yang juga belum sempat memperkenalkan diri.

Yap Kun Liong memberi isyarat dengan tangan menyuruh mereka berdiri dan mereka semua kini menonton Kong Liang yang menghadapi kakek telinga buntung. Kakek itu menyilangkan pedangnya di depan dada sambil berkata.

"Orang muda, aku telah siap, engkau mulailah!"

Sebetulnya, dengan segala ilmu kepandaian yang telah diwarisinya dari ayah dan ibunya, biar dia menghadapi lawan berpedang ini dengan tangan kosong sekalipun belum tentu Kong Liang akan kalah. Akan tetapi pemuda ini tidak mau membuang waktu, maka diapun sudah mencabut pedang yang melingkar di pinggangnya dan nampaklah sinar keemasan berkelebat ketika Hong-cu-kiam telah berada di tangannya.

Pedang tipis ini mengeluarkan sinar berkilauan dan melihat ini agak gentar jugalah kakek buntung telinganya itu. Dan tanpa banyak cakap lagi, Kong Liang sudah menyerang dengan pedangnya dan begitu menggerakkan pedang, dia sudah mainkan Siang-bhok Kiam-sut yang hebat!

Pendekar Sadis







Tidak ada komentar: