*

*

Ads

Rabu, 26 April 2017

Pendekar Sadis Jilid 006

Tadinya dia sendiri mengira bahwa pangeran itu telah tewas ketika gagal dalam pemberontakannya di Lembah Naga. Kini, tahu-tahu pangeran itu muncul dan dia maklum betapa lihainya keponakannya itu. Apalagi melihat sikap Puteri Khamila yang agaknya ingin sekali melihat puteranya itu menggantikan kedudukan raja, maka diam-diam raja ini mengatur rencananya untuk melenyapkan bahaya bagi kedudukannya ini. Dia amat khawatir kalau-kalau Pangeran Oguthai akan merebut kedudukannya, maka sebelum pangeran itu bergerak, dia harus bergerak lebih dulu.

Beginilah kalau orang sudah terikat kepada sesuatu yang dianggap merupakan sumber kenikmatan dan kesenangan hidupnya. Selalu merasa khawatir dan berprasangka terhadap orang lain, khawatir kalau-kalau kedudukannya itu akan lenyap. Dan dipertahankannya sesuatu itu, kalau perlu tidak segan-segan dia membinasakan orang lain yang dianggap sebagai penghalang. Dari sinilah timbulnya segala perbuatan kejam dan jahat.

Raja Agahai mengirim berita kepada Kaisar Beng-tiauw bahwa Pangeran Ceng Han Houw yang hendak memberontak itu masih hidup dan memberitahukan tempat sembunyinya. Bahkan kemudian bersekutu dengan Kaisar untuk sama-sama mengirimkan orang-orang pandai dan pasukan untuk menangkap atau membinasakan pemberontak yang berbahaya itu!

Demikianlah, kurang lebih tiga bulan kemudian semenjak Han Houw dan anak isterinya mengunjungi Puteri Khamila, pada suatu hari di dusun lereng bukit itu nampak ada dua orang kakek mendaki lereng dan memandang ke kanan kiri ke arah rumah para penduduk dusun.

Kedatangan dua orang itu menarik perhatian karena memang dusun itu agak
terpencil dan jarang dikunjungi orang luar, akan tetapi karena kakek yang usianya kurang lebih enam puluh tahun itu kelihatan juga tidak luar biasa, maka para penghuni dusun tidak menaruh perhatian.

Akhirnya dua orang kakek itu memasuki sebuah warung, satu-satunya warung makanan yang terdapat di dusun itu. Pemilik warung dengan sikap hormat mempersilakan mereka duduk. Mereka duduk, melepaskan topi lebar yang dipakai melindungi kepala dari terik matahari siang itu dan mereka menggunakan topi itu untuk mengipasi leher sambil membuka kancing baju bagian atas.

Hari itu memang agak panas, apalagi kalau orang melakukan perjalanan mendaki bukit itu. Mereka memesan arak dingin. Sambil menghidangkan arak kasar, pemilik warung itu bertanya,

"Agaknya ji-wi baru datang dari tempat jauh?"

Dua orang kakek itu saling pandang dan bersikap tak acuh. Seorang diantara mereka bertubuh tinggi kurus, berjenggot panjang dan sepasang matanya agak juling, membuat wajah itu nampak lucu akan tetapi juga menyeramkan, sungguhpun dia bersikap lemah lembut, sikap yang nampak dibuat-buat karena sepasang mata yang juling itu bergerak liar dan sama sekali tidak lembut sinarnya.

Adapun kakek ke dua yang usianya sebaya, bertubuh tinggi besar dan suaranya besar lantang, nampak kokoh kuat biarpun dia berusaha menutupi keadaannya itu dengan pakaian longgar dan sikap yang lemah lembut.

"Kami memang telah melakukan perjalanan jauh," jawab Si Mata juling.

Pada saat itu, seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun memasuki warung. Melihat anak ini, pemilik warung tersenyum dan menyambutnya dengan ramah,






"Thian Sin, sepagi ini kau sudah datang ke sini?" tegurnya ramah.

Anak itu memang Thian Sin adanya, putera Han Houw dan Ciauw Si. Semua orang dusun mengenalnya dan sayang kepadanya. Biarpun anak ini tahu benar bahwa dia masih keturunan kaisar dan raja, dan bahwa orang-orang dusun itu tidak berhak memanggil namanya saja seperti itu, namun dia tidak pernah menolak dan membiarkan semua orang memanggil namanya begitu saja, seperti terhadap anak-anak lain.

Juga ayah bundanya tidak pernah merasa keberatan karena memang ayahnya menyembunyikan keadaan dirinya dan tidak ada seorang pun tahu bahwa ayahnya adalah seorang pangeran! Bahkan nama ayahnya pun tidak ada yang tahu, dan ayahnya hanya dikenal sebagai

"Ceng-siauwya" atau tuan muda Ceng karena semua orang dapat menduga bahwa ayahnya itu bukanlah seorang petani biasa saja.

"Paman A-coan, saya disuruh ibu untuk membeli tao-co, karena ibu telah kehabisan tao-co." katanya sambil menyerahkan panci kecil.

"Baik-baik, kau masuklah ke dapur dan minta tao-co yang paling baik dari A-sam." kata pemilik warung sambil tersenyum ramah.

Sementara itu, kakek yang bertubuh tinggi besar dan bermuka agak kehitaman itu tanpa mempedulikan anak itu lalu bertanya,

"Eh, A-coan, kami ingin bertanya sesuatu kepadamu."

Mendengar nada suara itu agak sombong, Si Pemilik Warung menengok dengan alis berkerut. Tidak biasa penghuni dusun mendengar nada suara yang sombong seperti itu, apalagi dari orang asing yang baru saja mendengar namanya disebut oleh Thian Sin tadi.

"Hemm, bertanya tentang apakah?" jawabnya dengan sederhana dan memang pemilik warung ini, seperti para penghuni lain di dusun itu, tidak biasa berbasa-basi sehingga cara bicara mereka pun kasar sungguh pun kekasaran itu berdasarkan kejujuran, bukan kesombongan.

"Di dusun ini tinggal seorang pangeran pemberontak! Di manakah rumahnya?"

Pemilik warung itu terkejut sekali, akan tetapi juga terheran-heran. Dia tidak melihat betapa Thian Sin sudah keluar dari dalam membawa panci berisi tao-co, dan anak itu memandang dengan mata terbelalak dan jantung berdebar. Siapa lagi kalau bukan ayahnya yang dimaksudkan orang itu. Hanya ayahnyalah pangeran di dusun itu, akan tetapi mengapa disebut pemberontak?

"A-coan, demi keselamatanmu, kau berterus terang sajalah, dimana rumah pangeran pemberontak itu?" kata Kakek Mata Juling dengan suara meninggi.

A-coan, pemilik warung itu memandang kepada dua orang kakek itu bergantian dengan mata penuh keheranan dan penasaran.

"Apakah ji-wi sudah gila?" tanyanya dengan marah, "dalam dusun kami ini, mana ada seorang pangeran, pemberontak pula? Yang ada hanyalah petani-petani yang bersih dan jujur. Harap ji-wi tidak mengada-ada yang bukan-bukan!"

Tiba-tiba Si Mata Juling yang kelihatan lemah lembut itu menggebrak meja.
"Krakk!"

Ujung meja segi empat itu terbuat dari papan tebal, pecah dan patah terkena hantaman telapak tangannya. Kemudian, sekali bergerak, Si Mata Juling itu sudah meloncat dari atas bangkunya dan di lain saat, dia telah mencengkeram punggung baju pemilik warung itu dan mengangkatnya ke atas, matanya yang juling itu melotot dan menjadi makin juling.

"Kau berani mengatakan kami gila? Eh, tukang warung dusun, jaga hati-hati mulutmu, atau ingin kuhancurkan sepert ujung meja itu?" Si Mata Juling mengancam dan tukang warung itu tentu saja menjadi ketakutan.

Mula-mula dia hendak melawan, akan tetapi ketika dia tahu betapa tubuhnya tak mampu bergerak dan cengkeraman itu kuat sekali, maklumlah dia bahwa dia berada dalam cengkeraman seorang yang amat lihai.

"Maaf... maafkan saya..." katanya gugup.

"Katakan dulu di mana pangeran itu tinggal, baru aku akan memaafkan kamu!"

Si Mata Juling berkata dengan suara penuh ancaman, tangan kanannya mencengkeram tubuh itu ke atas dan tangan kirinya menampar dua kali dari kanan kiri.

"Plak! Plak!" Dan kedua pipi pemilik warung yang sial itu menjadi bengkak, bibirnya pecah berdarah. "Hayo katakan!"

Akan tetapi, pada saat itu ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu Thian Sin sudah menerjang ke depan, memukul ke arah perut Si Mata Juling itu. Si Mata Juling terkejut bukan main karena pukulan itu tak boleh dipandang ringan, melainkan pukulan yang cukup keras dan mungkin saja dapat mendatangkan rasa nyeri kalau tidak luka dalam! Maka dia pun cepat melepaskan tubuh A-coan dan menangkis pukulan anak itu

"Dukk!"

Tubuh Thian Sin terdorong ke samping, akan tetapi kakek bermata juling itu terkejut karena dia merasa lengannya tergetar, tanda bahwa pukulan bocah itu mengandung tenaga dalam!

"Eh, bocah setan, siapa kau?" bentaknya.

"Manusia kejam, sembarangan memukuli orang yang tidak bersalah!" Thian Sin berkata, wajahnya yang tampan itu berubah merah, matanya yang bening indah itu bersinar-sinar. "Pangeran yang kalian tanyakan itu adalah ayahku! Kalian mau apa?"

Dua orang kakek itu saling pandang dan nampak girang, juga terkejut. Anak itu masih kecil, paling banyak sepuluh tahun usianya, dan tubuhnya sedang, bahkan agak kurus, kulit mukanya halus seperti kulit muka anak perempuan, nampaknya lemah lembut dan tidak mempunyai tenaga, akan tetapi pukulannya tadi mengandung hawa sin-kang!

Siapakah dua orang kakek itu? Mereka itu adalah dua orang perwira tinggi yang bertugas jaga di perbatasan. Mereka menerima tugas dari pasukan yang datang dari kota raja dan dipimpin oleh dua orang kakek sakti untuk pergi menyelidiki dusun dimana kabarnya tinggal pangeran pemberontak Ceng Han Houw.

Maka berangkatlah dua orang perwira tinggi itu, menyamar dengan pakaian biasa. Mereka adalah tentara-tentara yang kasar dan sudah biasa melakukan perbuatan sewenang-wenang, mengandalkan kekuasaan mereka untuk menindas rakyat dan mereka berdua itu agaknya belum mengenal siapa adanya Pangeran Ceng Han Houw yang mereka hendak selidiki itu, maka mereka bersikap sombong dan ceroboh sekali.

Di dusun itu mereka bersikap kasar, karena mereka memandang rendah kepada pangeran yang katanya pemberontak itu. Kini mendengar pengakuan Thian Sin bahwa pangeran yang dicari-cari itu adalah ayah dari anak ini, tentu saja mereka girang dan juga kaget.

SebetuInya dua orang perwira tinggi ini memiliki kepandaian yang cukup tinggi, maka mereka ditugaskan untuk itu. Dan mereka itu pun telah memiliki kedudukan, hanya karena mereka sudah biasa menyiksa tawanan untuk memaksa mereka mengaku, maka terhadap A-coan merekapun bersikap kasar untuk memaksa tukang warung itu mengaku. Kini, menghadapi anak itu, sikap mereka lain.

"Eh, bocah lancang, jangan main-main kau!" kata Si Tinggi Besar muka hitam. "Kami tidak mau salah tangkap. Coba katakan, siapa she ayahmu?"

"Ayah she Ceng, dan dialah satu-satunya pangeran di sini! Kalian ini orang-orang kejam mau apakah mencari Ayahku?"

Dua orang itu girang bukan main.
"Ha-ha-ha, bagus sekali! Kami akan menangkap ayahmu yang memberontak!"

Sungguh Si Tinggi Besar muka hitam ini tiada bedanya dengan temannya, ceroboh dan menganggap rendah kepada Pangeran Ceng Han Houw.

Sebetulnya tugas mereka hanya menyelidiki saja apakah benar Ceng Han Houw tinggal di dusun itu, sama sekali tidak bertugas untuk menangkap keluarga itu, karena yang memerintah mereka cukup mengetahui betapa lihainya Pangeran Ceng Han Houw dan isterinya.

Akan tetapi, mereka berdua ini adalah orang-orang yang biasa ditakuti orang dan sudah terlalu percaya kepada diri sendiri, maka mereka berpikir bahwa kalau mereka dapat menangkap pemberontak itu tentu mereka akan berjasa besar dan selain naik pangkat tentu akan menerima hadiah banyak.

Sementara itu, mendengar bahwa ayahnya dituduh pemberontak dan hendak ditangkap, Thian Sin yang berusia sepuluh tahun itu menjadi marah.

"Ayah bukan pemberontak, kalian bohong dan jahat!" Dia lalu menerjang ke depan memukul kakek tinggi besar bermuka hitam itu.

Diantara anak-anak sebaya, agaknya Thian Sin tentu merupakan anak paling kuat dan sukar dicari bandingannya, bahkan menghadapi orang dewasa pada umumnya saja agaknya dia masih akan menang. Akan tetapi yang diserangnya itu adalah seorang perwira tinggi yang sudah memiliki kepandaian tinggi dan tenaga besar, maka betapapun cepat dan kuat serangannya itu, Si Tinggi Besar yang sudah siap dan tidak memandang rendah anak itu telah menyambutnya dengan sambaran tangan untuk menangkapnya.

Pendekar Sadis







Tidak ada komentar: