*

*

Ads

Sabtu, 13 Mei 2017

Pendekar Sadis Jilid 060

Kong Liang tersenyum, diam-diam merasa bangga. Akan tetapi dia memandang kepada Thian Sin dan bertanya kepada Han Tiong.

"Siapakah temanmu ini, Han Tiong?"

"Ya, siapakah dia ini?"

Cia Giok Keng menyambung dan sejak tadi dia menatap wajah pemuda yang tampan itu. Ditanya begini, sebelum Han Tiong menjawab, Thian Sin sudah menjatuhkan diri di depan Cia Giok Keng sambil berkata.

"Nenek, cucumu yang bodoh mohon ampun bahwa baru sekarang dapat datang menghadap."

Tentu saja Cia Giok Keng menjadi kaget dan bingung, akan tetapi pada saat itu Han Tiong berkata dengan hati terharu,

"Dia ini adalah Ceng Thian Sin yang menjadi adik angkat saya dan menjadi murid ayah, dia adalah putera dari Paman Ceng Han Houw dan Bibi Lie Ciauw Si."

"Ehh...?"

Cia Giok Keng menjerit dan mengangkat bangkit pemuda itu, menatap wajahnya dan kemudian merangkulnya.

"Cucuku...! Ah, cucuku, tak kusangka bahwa aku akan dapat berjumpa dengan anak Ciauw Si..." Suaranya mengandung isak. "Cucuku, dimanakah mereka? Mengapa ibumu tidak ikut datang bersamamu menengokku...?"

Ditanya tentang ibunya, tentu saja Thian Sin merasa seperti ditusuk jantungnya. Dia menunduk, menahan air matanya agar tidak keluar dari matanya yang terasa panas itu, kemudian dapat juga dia berkata lirih.

"Maafkan nek... mereka... ayah dan ibu telah tiada..."

Sepasang mata tua itu terbelalak, muka yang memang sudah agak pucat itu menjadi semakin pucat.

"Apa...? Bagaimana...?"

Dan nenek itu tentu sudah roboh kalau tidak dipeluk cucunya. Yap Kun Liong cepat menghampiri dan memondong tubuh isterinya yang pingsan, lalu berkata kepada tiga orang muda itu.

"Mari kita bicara di dalam..."

Keadaan menjadi menyedihkan ketika tiga orang pemuda itu mengikuti kakek yang memondong tubuh nenek yang pingsan itu memasuki pondok, setelah merebahkan Cia Giok Keng di atas dipan dan mengurut beberapa jalan darahnya, akhirnya nenek itu mengeluh dan membuka matanya. Akan tetapi begitu dia melihat Thian Sin duduk di dekat situ, diapun menangis dan teringat lagi.






"Ah, Ciauw Si... Ciauw Si anakku... mengapa engkau yang masih muda telah mati lebih dulu? Betapa buruk nasibmu, anakku..."

Thian Sin menggigit bibirnya dan menahan agar jangan ikut menangis mendengar neneknya itu menangis sambil meratap. Yap Kun Liong menghibur isterinya.

"Sudahlah, kematian akan datang kepada siapapun juga, muda maupun tua. Menyedihi si mati hanya melemahkan batin dan badan saja, dan tidak ada manfaatnya. Lebih baik kita mendengarkan Thian Sin menceritakan kematian ayah bundanya."

Cia Giok Keng menyusut air matanya lalu memandang kepada cucunya, menarik napas panjang untuk menenangkan hatinya yang tertekan,

"Cucuku, ceritakanlah bagaimana ibumu sampai tewas?"

Dengan lirih dan hati-hati Thian Sin lalu bercerita tentang pengeroyokan pasukan, baik pasukan dari Kerajaan Beng yang dibantu oleh pasukan dari Raja Agahai di utara, dan betapa dia sendiri oleh ibu dan ayahnya diungsikan sebelum malapetaka itu datang, mengungsi ke kuil pamannya, yaitu Hong San Hwesio Lie Seng dan belajar di bawah asuhan pamannya itu bersama Han Tiong, dan betapa kemudian dia ikut bersama kakak angkatnya itu dan mempelajari ilmu silat di Lembah Naga.

Mendengar penuturan itu, Yap Kun Liong berkata,
"Hemm, segala macam perbuatan manusia tiada bedanya dengan menanam benih yang tentu akan menumbuhkan pohon yang berkembang dan berbuah. Bunga dan buahnya tidak akan lepas daripada sifat benih yang ditanam itu sendiri. Oleh karena itu, segala akibat takkan lepas daripada sebabnya dan kita tidak perlu menyesal. Ciauw Si terbawa oleh akibat daripada perbuatan suaminya, maka hal itupun tidak perlu disesalkan."

"Tapi, anakku adalah seorang wanita gagah. Tidak semestinya terbunuh demikian menyedihkan. Kematiannya tidak mungkin dapat didiamkan saja! Para pembunuhnya tidak dapat membedakan siapa salah siapa benar, dan para pembunuhnya itu harus dibalas!"

Yap Kun Liong memegang lengan isterinya.
"Tenang dan sabarlah. Apakah engkau akan mengulang apa yang telah dilakukan oleh cucu dari para penghuni Padang Bangkai tadi, yaitu hidup diracuni dendam?"

"Ah, tapi mereka itu lain lagi! Kakek dan nenek mereka adalah orang-orang jahat yang sudah sepatutnya dibunuh! Akan tetapi Ciauw Si anakku! Apa salahnya? Salahnya dia hanya jatuh cinta kepada seorang yang..."

"Sudahlah, perlu apa menggali hal-hal yang sudah lalu? Mereka telah tiada, akan tetapi mereka meninggalkan seorang putera dan dia telah menjadi seorang pemuda yang begini gagah," kata Yap Kun Liong yang cepat mencegah isterinya melanjutkan kata-katanya mencela mendiang Ceng Han Houw di depan puteranya sendiri.

"Cucuku...!" Cia Giok Keng lalu merangkul Thian Sin dan menangis.

Betapapun juga, kunjungan tiga orang pemuda itu, terutama sekali hadirnya Thian Sin di situ, mendatangkan kegembiraan dalam hati nenek itu dan membuatnya sehat kembali. Tiga orang pemuda itu tinggal di puncak Bwee-hoa-san, melayani kakek dan nenek itu sehingga mereka merasa berbahagia sekali.

Giok Keng merasa amat gembira dan amat mencinta cucunya. Saking girang dan senangnya terhadap cucunya, dia menyerahkan pedang pusakanya, yaitu Gin-hwa-kiam kepada Thian Sin, bahkan mengajarkan ilmu silat memainkan sabuk sebagai senjata yang ampuh.

Memang nenek ini amat ahli mempergunakan sabuk panjang sebagai senjata dan sabuk ini memang lihai bukan main, dapat dipergunakan untuk menghadapi senjata tajam lawan dan melilit serta merampasnya.

Juga Yap Kun Liong tidak tinggal diam. Dia merasa gembira dekat dengan tiga orang pemuda yang berbakat dan gagah perkasa itu, dan dia tahu bahwa inilah kesempatan terakhir baginya. Dia sudah tua, tidak mempunyai anak kecuali Yap Mei Lan yang telah pergi keluar negeri bersama suaminya, Souw Kui Beng (baca cerita Pendekar Lembah Naga). Maka kalau dia tidak meninggalkan ilmu-ilmunya tentu tak lama lagi akan terbawa mati. Dan siapa lagi yang lebih pantas menerima ilmu-ilmunya itu kecuali tiga orang pemuda ini?

Yap Kun Liong merasa kagum bukan main melihat watak Cia Han Tiong. Dia tahu bahwa pemuda ini memiliki kebijaksanaan yang luar biasa, yang amat menonjol dan jauh melampaui dua orang pemuda lainnya. Dan diapun diam-diam merasa prihatin dan khawatir melihat sifat-sifat ganas yang dimiliki Thian Sin. Dalam percakapan berdua dengan Thian Sin, Yap Kun Liong banyak memberi nasihat-nasihat dan menanamkan jiwa kependekaran kepada pemuda ini, dan diapun mengajarkan Ilmu Pat-hong Sin-kun dan Pek-in-ciang yang amat lihai kepada Thian Sin.

Kepada Cia Kong Liang dia mengajarkan Siang-liong-pang dan Im-yang Sin-kun. Dan kepada Cia Han Tiong dia telah memberikan kitab yang selama ini merupakan pusakanya yang amat disayangnya, yaitu kitab Keng-lun Tai-pun ciptaan Bun Ong yang mengandung pelajaran yang amat halus dan hanya dapat dimengerti oleh orang yang benar-benar berbakat!

Demikianlah, tiga orang pemuda itu tinggal di situ sampai hampir satu bulan lamanya, dan mereka bertiga merasa gembira bukan main memperoleh ilmu-ilmu dari kakek dan nenek itu. Kemudian karena waktunya bagi Cia Kong Liang telah tiba untuk mewakili orang tuanya menghadiri undangan dari Tung-hai-sian di Ceng-tao Propinsi Shan-tung yang merayakan ulang tahun, mereka bertiga meninggalkan puncak Bwee-hoa-san, diantar oleh pandang mata kesepian oleh kakek dan nenek itu!

Han Tiong dan Thian Sin diajak Kong Liang untuk ikut ke Ceng-tao, menemaninya mengunjungi pesta ulang tahun itu. Yap Kun Liong dan Cia Giok Keng juga menganjurkan kepada dua orang pemuda itu untuk ikut.

"Tung-hai-sian adalah datuk kang-ouw yang amat disegani di dunia timur, oleh karena itu dalam pesta perayaan itu tentu hadir banyak sekali orang-orang kang-ouw dan tokoh-tokoh besar. Pertemuan dengan mereka itu amat penting bagi kalian orang-orang muda," demikian Yap Kun Liong berkata.

Han Tiong dan Thian Sin memang juga ingin meluaskan pengalaman, maka tentu saja ajakan itu mereka terima dengan hati gembira. Mereka melakukan perjalanan ke timur dengan cepat dan di sepanjang perjalanan mereka bertiga itu bergembira. Maklumlah, biarpun Kong Liang disebut paman oleh mereka, namun usia mereka sebaya. Kong Liang berusia dua puluh dua tahun, Han Tiong sembilan belas tahun dan Thian Sin delapan belas tahun.

"Ingat, kita bertiga mewakili Cin-ling-pai dan karena Cin-ling-pai sudah dikenal di seluruh dunia, maka kita harus menjaga gerak-gerik kita yang tentu akan diperhatikan orang. Dan karena aku yang bertanggung jawab atas nama Cin-ling-pai, maka kuminta agar kalian tidak sembarangan melakukan sesuatu sebelum ada ketentuan dariku. Di sana berkumpul banyak sekali orang kang-ouw, maka kalau kalian salah bertindak sedikit saja dapat menimbulkan kegemparan dan kalau sampai nama Cin-ling-pai terbawa, tentu ayah akan marah kepadaku."

"Baiklah, paman. Kami hanya ikut saja dan nonton, tentu saja kami tidak akan berani membuat ribut. Bukankah begitu, Sin-te?"

Thian Sin hanya mengangguk, akan tetapi karena dia memang kadang-kadang mendongkol melihat sikap Kong Liang yang seolah-olah menganggap mereka berdua masih "hijau" dan bersikap kepada mereka seolah-olah mereka itu masih kanak-kanak, lalu berkata.

"Kami mengerti, Paman Kong Liang. Pendeknya, biarlah engkau yang menjadi pemimpinnya, dan kami hanya mentaati saja."

Ucapan ini sewajarnya saja bagi Kong Liang yang mengangguk senang, akan tetapi Han Tiong yang telah mengenal watak adik angkatnya ini, benar-benar tahu bahwa adiknya itu merasa mendongkol dan dalam kata-katanya tadi terkandung ejekan.

**** 060 ****
Pendekar Sadis







Tidak ada komentar: