*

*

Ads

Kamis, 05 April 2018

Asmara Berdarah Jilid 193 (TAMAT)

Pesta pernikahan yang dirayakan di puncak Pegunungan Cin-ling-san, di rumah perkumpulan Cin-ling-pai itu meriah sekali. Lebih dari seribu orang tamu memerlukan datang menghadiri perayaan itu dari berbagai penjuru. Sebagian besar dari para tamu adalah golongan kang-ouw atau tokoh-tokoh dunia persilatan. Hal ini tidaklah mengherankan karena nama besar Cin-ling-pai sudah dikenal di dunia persilatan.

Apalagi mengingat siapa adanya keluarga besan-besan dari ketua Cin-ling-pai yang sekaligus merayakan pernikahan dari puteranya dan murid perempuannya itu. Putera ketua Cin-ling-pai, Cia Hui Song, menikah dengan Ceng Sui Cin, puteri tunggal Pendekar Sadis Ceng Thian Sin dan isterinya yang amat terkenal. Sedangkan murid perempuannya yang disayang seperti puteri sendiri, Tan Siang Wi, menikah dengan Cia Sun, putera tunggal dari ketua Pek-liong-pang, pendekar dari Lembah Naga yang juga terkenal.

Tiga besar itu, Cia Kong Liang, Cia Han Tiong, dan Ceng Thian Sin, bersepakat untuk merayakan dua pernikahan itu di Cin-ling-pai, karena bagaimanapun juga, mereka semua adalah pendekar-pendekar yang mewarisi ilmu-ilmu dari Cin-ling-pai.

Nama besar tiga keluarga ini menjamin terlaksananya perayaan pesta pernikahan itu dengan aman. Tidak ada yang berani mati mengganggu dan semua orang bergembira. Pesta dilakukan sejak pagi sampai jauh malam dan semua tamu meninggalkan Cin-ling-pai setelah malam dengan hati gembira dan kagum, dengan perut kenyang.

Setelah semua tamu pulang, keadaan di Cin-ling-pai sunyi kembali. Dua pasang pengantin sudah memasuki kamar pengantin masing-masing dan hanya mereka berempat yang dapat merasakan kebahagiaan mereka, sedangkan orang-orang lain hanya tersenyum penuh arti menduga-duga atau membayangkan saja betapa bahagianya dua pasang pengantin yang kini tinggal berdua saja dalam kamar mereka.

Akan tetapi, di dalam bayangan pohon-pohon yang gelap, tidak jauh dari rumah besar dimana dua pasang pengantin itu berasyik-mesra, nampak sesosok bayangan. Bayangan ini tidak gembira sama sekali, bahkan sejak berjam-jam ia berada di dalam kegelapan itu seperti sebuah patung, dan kini nampak tubuhnya terguncang-guncang. Bayangan itu menangis. Lirih hampir tanpa suara, akan tetapi air matanya bercucuran yang dicobanya untuk diusap dengan kedua tangannya yang gemetar.

Bayangan itu adalah Toan Hui Cu! Gadis ini merasa betapa hancur perasaan hatinya melihat pria yang dikasihinya, yang diharapkannya, Cia Sun, kini menikah dengan seorang gadis lain! Terasa olehnya betapa malang nasibnya, betapa sengsara keadaan dirinya. Semenjak kecil ia hidup terasing, kemudian ia terancam oleh ayah kandungnya sendiri yang jahat seperti iblis.

Ayah ibunya adalah raja dan ratu penjahat dan kini mereka telah tewas. Ia tidak mempunyai siapapun lagi di dunia ini, sebatangkara, tidak memiliki apa-apa dan terpaksa harus menghadapi kehidupan yang dianggapnya amat mengerikan dan kejam. Ia tidak berpengalaman hidup di dunia ramai. Satu-satunya harapan dalam hatinya digantungkan kepada Cia Sun.

Akan tetapi kini pemuda itu telah menjadi milik wanita lain dan ia tahu bahwa bagaimanapun juga, ia tidak berhak mendekati Cia Sun, tidak dapat mengharapkan lagi perlindungannya. Melihat Cia Sun menikah dengan wanita lain, baginya seperti melihat Cia Sun juga telah mati meninggalkan dirinya, seperti ayah bundanya. Maka, dapat dibayangkan betapa sedihnya, membuatnya hampir putus asa dan membuatnya tidak berani melanjutkan hidup yang dianggapnya kejam dan mengerikan itu.

"Ibu... oh, ibu... bagaimana dengan aku ini, ibu..."

Ia merintih dan tangisnya makin menjadi, sesenggukan karena pada saat itu yang dapat disambati hanyalah ibunya, satu-satunya orang yang pernah mencintanya dan kini ibunyapun sudah meninggalkannya.

"Ibu...!" Kedua pundaknya terguncang-guncang.

"Hui Cu..." Suara ini lirih dan ada tangan menyentuh pundaknya dengan halus.

Hui Cu tertegun. Suara Cia Sun-kah itu? Ia cepat menoleh penuh harapan dan di bawah sinar bulan yang bercahaya terang, ia melihat wajah yang amat dikenalnya, wajah Siangkoan Ci Kang, orang kedua setelah Cia Sun yang dikaguminya. Wajah yang gagah, agak pucat dan basah air mata! Seketika tahulah Hui Cu bahwa Ci Kang juga seperti ia sendiri, sudah lama berada disitu, menangis seperti ia sendiri, menangisi kepergian Sui Cin!

"Hui Cu, engkau menangis?"

"Engkau juga menangis..."

“Engkau... kehilangan Cia Sun...?"

"Dan engkau kehilangan Sui Cin..." Hui Cu berhenti sebentar dan memandang ke arah lengan kiri yang buntung itu, "... dan kehilangan lengan kirimu karena Sui Cin pula..."

Mengertilah Ci Kang bahwa agaknya ketika melarikan dirinya, Hui Cu tidak pergi jauh dan mengintai sehingga tahu akan apa yang terjadi selanjutnya, tentang buntungnya lengannya. Dia mengangguk dan keduanya berdiam diri. Kini tangis mereka terhenti, agaknya memperoleh hiburan setelah saling bertemu dan saling mengerti akan kesengsaraan hati masing-masing.






Setelah keduanya diam sampai beberapa saat lamanya sambil saling berpandangan, Ci Kang menarik napas panjang dan mengangguk.

"Ya, aku kehilangan lengan kiri, aku seorang yang bodoh, dan aku... aku hanya anak seorang penjahat kawakan yang rendah dan hina."

"Akupun anak penjahat, bahkan raja dan ratu iblis, penjahat yang paling besar. Kita sama-sama keturunan penjahat, orang-orang hina dan rendah..."

Tangan kanan yang kuat itu makin erat memegang pundak Hui Cu.
"Engkau benar, Hui Cu. Kita sama-sama keturunan penjahat, bagaikan burung gagak yang paling rendah dan dianggap kotor, mana bisa disamakan dengan burung-burung Hong? Biarlah burung gagak berkawan dengan burung gagak pula, keturunan penjahat bersanding dengan keturunan penjahat pula. Hui Cu, bagaimana pendapatmu kalau kita, yang senasib sependeritaan ini, mulai sekarang hidup bersama? Maukah engkau melanjutkan hidup yang kejam ini di sampingku, untuk selamanya, suka sama dinikmati, duka sama diderita? Maukah engkau?"

Mereka saling berpandangan. Dua pasang mata itu sampai lama tidak berkedip, saling pandang dengan tajam, seolah-olah ingin menyelami isi hati masing-masing.

"Tapi... tapi... apakah engkau cinta padaku, Ci Kang?"

Senyum pahit menghias bibir pemuda itu.
"Aku tidak tahu, Hui Cu. Sesungguhnya aku tidak pernah tahu apa artinya cinta itu. Akan tetapi aku kasihan padamu, dan aku suka dan kagum padamu."

Hui Cu menarik napas panjang dan Ci Kang merasa betapa pundak yang tadinya meregang kaku di bawah telapak tangannya itu kini menjadi lunak dan hangat

"Akupun kagum padamu, suka dan akupun kasihan padamu. Aku tidak tahu apakah perasaan kita yang sama ini, kagum suka dan kasihan, dapat memupuk cinta. Akan tetapi, aku menerima tawaranmu seperti seorang kehausan mendapatkan air jernih, Ci Kang. Aku sudah putus harapan dan kau tiba-tiba datang dan aku... aku... ahhh..."

Gadis itu tiba-tiba menjadi lemas dan ia menjatuhkan dirinya di atas dada yang bidang itu sambil menangis, menyembunyikan mukanya di dada yang kokoh kuat itu. Dengan hati merasa seperti tanah kering merekah menerima siraman air segar, Ci Kang merangkulkan lengan kanannya ke pundak gadis itu. Sejenak mereka berdiri seperti itu, tak bergerak kecuali pundak Hui Cu yang bergoyang-goyang oleh tangisnya yang tidak berbunyi.

Setelah tangis itu mereda, Ci Kang berbisik,
"Hui Cu, sudah bulatkah hatimu menerimaku? Ingat, aku seorang yang cacat, lengan kiriku buntung..."

"Tapi hatimu tidak cacat, Ci Kang."

Dan gadis itupun membiarkan dirinya ditarik dan diajak pergi dari situ. Mereka berjalan perlahan-lahan, dengan lengan kanan Ci Kang masih merangkul dan perlahan-lahan hati mereka menjadi semakin cerah dan tabah karena kini mereka merasa yakin akan kuat menempuh hidup baru berdua, tidak sendirian lagi, dan mereka akan hadapi dengan tabah apapun yang akan mereka hadapi dalam kehidupan selanjutnya.

Kebahagiaan adalah urusan hati, sebaliknya kesenangan adalah urusan badan. Selama batin dikeruhkan oleh segala urusan badan yang selalu mengejar kesenangan, maka kebahagiaanpun akan tiada, bagaikan cahaya yang tidak dapat bersinar menembus kaca yang kotor penuh debu.

Kebahagiaan, hanya terdapat dalam batin yang jernih, yang bebas daripada segala ikatan, yang tidak membutuhkan apa-apa lagi, dimana tidak ada lagi konflik-konflik atau pertentangan antara senang dan susah, antara suka dan benci, antara kenyataan dan apa yang diharapharapkan.

Kebahagiaan tidak akan lenyap walaupun badan boleh jadi tersiksa oleh sakit, oleh kemiskinan, oleh penghinaan dan sebagainya selama batin dapat menerima dan menghadapi semua itu sebagai suatu hal yang wajar dan tidak menimbulkan guncangan. Kebahagiaan adalah TIDAK ADA-NYA penentangan batin terhadap sesuatu yang menimpa diri, dan kebahagiaan adalah cinta kasih.

Sampai disini, ijinkan pengarang menyudahi kisah Asmara Berdarah ini dengan harapan mudah-mudahan di samping merupakan sebuah bacaan penghibur hati di kala senggang, cerita inipun mampu menyuguhkan sesuatu yang bermanfaat bagi para pembaca. Sampai jumpa di lain kesempatan.

T A M A T
Asmara Berdarah